Kamis, 14 Mei 2020

Sinyal SOS dari Kebun Binatang

Pandemi corona menyebabkan kebun binatang berhenti beroperasi. Sebagian sudah dalam keadaan kritis.

Foto : Agung Pambudhy/detikcom

Kamis, 14 Mei 2020

Hampir dua bulan lamanya taman margasatwa dan konservasi Taman Safari di Desa Cisarua, Kecamatan Cisarua, Bogor, Jawa Barat, sepi. Biasanya, kebun binatang seluas 168 hektar yang terletak di lereng Gunung Gede Pangrango itu selalu ramai pengunjung. Bahkan, setiap akhir pekan kendaraan pengunjung selalu mengular hingga membuat Jalan Raya Puncak macet. Kini kondisinya berbeda pasca dilakukannya penutupan sementara akibat pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19) di Indonesia.

Pengumuman bertuliskan “Taman Safari Indonesia Tutup Sementara” terpasang di depan pos keamanan yang berjarak 20 meter sebelum Gerbang Gading, ikon Taman Safari Cisarua. Tanda peringatan bertuliskan “Selain Karyawan Dilarang Masuk” dan “Area Wajib Menggunakan Masker” juga dipasang. Petugas keamanan dengan ketat selalu memeriksa tamu yang akan masuk dengan protokol kesehatan. Suhu tubuh dicek, tamu wajib mengenakan masker, dan harus cuci tangan terlebih dahulu atau menggunakan hand sanitizer.

Tak hanya Taman Safari Cisarua, unit usaha milik Taman Safari Indonesia (TSI) Group lainnya juga ditutup sementara sejak 23 Maret 2020. Unit usaha itu antara lain Taman Safari Prigen (Pasuruan, Jawa Timur), Bali Safari Park (Gianyar, Bali), Batang Dolphins Center (Batang, Jawa Tengah) dan Jakarta Aquarium. Awalnya penutupan hingga 19 April 2020, tapi waktunya diperpanjang sampai nanti pandemi COVID-19 sudah bisa dikendalikan. Penutupan juga dilakukan oleh kebun binatang di berbagai daerah.

Sebuah mobil berada di gerbang masuk saat penutupan Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (24/3/2020).
Foto : Arif Firmansyah/ANTARA Foto

“Jadi memang pada umumnya lembaga konservasi dan kebun binatang saat pandemi COVID-19 sudah tutup sejak pertengahan Maret. Taman Margasatwa Ragunan 16 Maret, ada yang 20 atau 22 Maret, setelah itu tutup semua, termasuk Taman Safari,” ungkap Komisaris Taman Safari Indonesia (TSI) Group, Tony Sumampau, yang menemani detikX saat mengunjungi Taman Safari Cisarua pada Sabtu, 9 Mei 2020.

Sejak tutup, praktis Taman Safari Cisarua tidak lagi mendapatkan pemasukan dari tiket pengunjung. Padahal, selama ini pendapatan dari tiket itulah yang digunakan untuk menopang pembayaran gaji karyawan, pajak daerah, hingga membeli pakan satwa peliharaan. Sekedar diketahui, operasional Taman Safari Cisarua setiap bulannya memakan biaya sebesar Rp 9,6 miliar. Anggaran itu dialokasikan untuk pakan hewan Rp 4,5 miliar, gaji dan honor pegawai Rp 4 miliar, dan membayar kontribusi kepada Pemkab Bogor sebesar Rp 44 miliar setahun dengan cicilan setiap bulannya Rp 5,9 miliar.

Kondisi tak menentu ini telah memaksa Taman Safari Cisarua untuk mengencangkan ikat pinggang. Dari 1.060 pegawai yang bekerja di Taman Safari Cisarua, 400 di antaranya sudah dirumahkan beberapa waktu lalu. Mereka adalah karyawan bagian kebersihan, tiket, pertamanan, dan restoran. Sedangkan sebanyak 600-an orang lainnya seperti keeper (pengasuh satwa) dan pengurus pakan serta kesehatan satwa masih bekerja secara bergantian. “Setiap hari hanya setengah dari mereka yang masuk, khususnya bekerja untuk membantu penanganan satwa,” terang Tony.

Tony Sumampau, Komisaris Taman Safari Indonesia Group
Foto : Iswahyudi/20Detik

Menurut Tony, kebun binatang besar seperti Taman Safari bisa bertahan selama empat bulan jika tanpa pemasukan sama sekali sejak ditutup. Di luar Taman Safari, banyak kebun binatang atau lembaga konservasi yang tergabung dalam Persatuan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI) sudah menyatakan berada dalam keadaan kritis alias SOS. Mereka terutama kebun binatang skala kecil. Memang, masing-masing anggota PKSBI sudah sepakat untuk memiliki cadangan dana untuk contingency plan (kondisi darurat) tiga hingga empat bulan. Namun, dana itu disiapkan bila menghadapi bencana alam, bukan pandemi seperti COVID-19 yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.

“Jadi seperti itu. Kalau bulan pertama saja kita pikir aman lah, nggak jadi masalah. Nah bulan kedua ini kita rasa kok COVID ini belum selesai. Ujungnya di mana? Kalau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) terus celaka nih kita. Bukan saja pengaruh ke manusianya (SDM) juga pakan hewannya yang mahal,” ungkap Tony.

Kekhawatiran juga dirasakan pengelola kebun binatang mini Faunaland Ancol. Kebun binatang itu masih mengaku masih sanggup membiayai operasional hingga tiga bulan ke depan, walau tanpa pemasukan dari tiket pengunjung. "Kalau ditanya ketahanan, mungkin dua sampai tiga bulan kita masih sanggup. Tapi kalau lebih dari itu, kita juga khawatir, " ungkap General Manager Faunaland, Fardhan Khan, kepada detikX di kantornya, Selasa, 5 Mei 2020. Saat ini pegawai kebun binatang memang masih bekerja, namun dengan sistem bergilir. Mereka bertugas merawat dan memberikan makanan kepada 161 ekor satwa unik dari Indonesia timur yang terdiri dari 59 spesies.

Setiap bulannya, Fardhan mengungkapkan, kebun binatang seluas 5 hektar di kawasan Ecopark Ancol itu menghabiskan biaya antara Rp 110-120 juta untuk membeli sayuran, buah-buahan dan daging mentah. Sementara untuk operasional secara keseluruhan, Faunaland menghabiskan biaya antara Rp 500-600 juta setiap bulannya. Di tengah situasi pandemi ini, pengelola terpaksa melakukan sejumlah efisiensi. Namun, efisiensi itu tidak dilakukan pada penyediaan pakan satwa, sebab hal itu menyangkut kesejahteraan dan kesehatan mereka. "Paling hanya 10 persen yang kita lakukan efisiensi. Cuma kita lihat pakan satwa mana yang kalau sorenya masih ada sisa. Nah berarti kita kurangin tuh. Jadi harus pas habisnya nggak boleh sisa," tandas Fardhan. 

Seorang petugas memberi makan satwa di Fardhan Khan, Ancol
Foto : Syailendra Hafiz Wiratama/detikX

Taman Safari dan Faunaland berharap ada bantuan dana untuk mendukung biaya operasional di tengah situasi pademi COVID-19. Fardhan mengatakan, PKBSI sudah menyurati Presiden Joko Widodo melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) untuk meminta bantuan. Pasalnya, hampir 70-80 persen satwa yang dipelihara KB/LK merupakan aset pemerintah yang dititipkan kepada mereka. “Nah, pada saat kejadian seperti ini, inginnya pemerintah bantu juga dong. Ikut berpartisipasi lah. Karena kalau seperti di Medan atau di Ragunan kan masih di-support oleh Pemprov. Kaya kita dan Taman Safari kan full swasta, ya udah tinggal seberapa kuat aja kas dia,” jelasnya.

Sedangkan menurut Tony, yang juga saat ini menjabat sebagai Sekjen PKBSI, mengatakan, selama ini antar kebun binatang sudah bergotong royong untuk saling membantu, tapi kurang efektif. Sebab nilai bantuan hanya Rp 5 juta saja per kebun binatang. Ia menambahkan PKBSI lalu meminta bantuan kepada Kementerian KLH dengan menyurati Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Menko Perekonomian, tapi sampai saat ini belum ada realisasinya. Alternatif lainnya adalah dengan melakukan penggalangan dana ‘Food for Animal’ pakan untuk satwa. Hingga saat ini dana yang terkumpul sebesar Rp 1,2 miliar.

Dana yang terkumpul itu akan salurkan kepada kebun binatang-kebun binatang yang membutuhkan, karena tidak bisa survive sampai akhir bulan ini. Bantuan itu hanya untuk pakan pokok saja, belum termasuk untuk biaya tenaga kerja dan lain-lainnya. Dana untuk cadangan pakan satwa ini sudah dicairkan sebesar Rp 380 juta pada Senin, 11 Mei 2020. “Nah, itu situasi sampai akhir bulan ini. Saya yakin lebih banyak lagi kebun binatang itu akan mengajukan permohonan yang sama,” terang Tony.

Sementara, Ketua Umum PKBSI Rahmat Shah bilang organisasinya menaungi 57 LK/BK dengan jumlah pekerja sebanyak 22.000 orang. Ada 4.912 jenis satwa dengan jumlah 68.933 ekor satwa endemic yang dilindungi negara dan belahan dunia lainnya, seperti mamalia, karnivora, herbivora, reptil, unggas, ikan dan lainnya. Per tahun rata-rata pengunjung LK/KB sebanyak 50 juta orang. Penghasilan LK/KB ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kontribusi bagi PAD daerah.

Fardhan Khan, General Manager Faunaland.
Foto : Syailendra Hafiz Wiratama/detikX

Penutupan sementara operasi LK/KB untuk membantu memutuskan mata rantai penyebaran COVID-19. Namun di sisi lain, mengganggu biaya operasional LK/KB, seperti biaya pakan, obat-obatan satwa, biaya pegawai dan lainnya. Walau banyak kebun binatang milik pemerintah daerah melalui dana APBD, tapi sebagian besar masih mengandalkan pemasukan dari penjualan tiket pengunjung, akibatnya mempengaruhi kondisi keuangan kebun binatang itu sendiri.

Berdasarkan rilis PKBSI pada 28 April 2020, disebutkan bahwa 92,11 persen lembaga konservasi dan kebun binatang hanya bisa bertahan satu bulan ke depan. Sedangkan, 2,26 persen kebun binatang yang mampu bertahan menyediakan pakan satwa dalam jangka waktu 1-3 bulan. Sementara, 2,63 persen sisanya adalah kebun binatang atau lembaga konservasi besar yang mampu menyediakan pakan lebih dari tiga bulan. “Situasi ini menyebabkan krisis yang mengkhawatirkan, apabila sampai akhir bulan Mei 2020 tidak terdapat bantuan nyata dari donatur maupun pemerintah, maka kondisi satwa koleksi akan semakin terancam,” kata Rahmat kepada detikX, Kamis, 7 Mei.

Rahmat menambahkan, para pengelola LK/KB mencoba mengatasi situasi sulit dengan mensubstitusi (penyesuaian/penghematan) pakan, pengurangan pegawai, pengaturan jam kerja pegawai, menyediakan suplai pakan mandiri dan penggalangan dana. PKBSI memprioritaskan bagaimana satwa tetap sehat dan terjamin kesejahteraannya dengan baik. Untuk itu, Rahmat berharap ada dukungan dan bantuan dari berbagai kalangan seperti pemerintah pengusaha, tokoh masyarakat, pencinta satwa dan masyarakat. “Kita semua berharap pandemi (COVID-19) cepat berlalu dan kita bisa kembali menjalani kehidupan normal sebagaimana mestinya,” pungkas Rahmat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar