Jumat, 31 Agustus 2018

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 17-18


Terjemah Al Qur'an, Tafsir Al Qur'an, Ilmu Al Qur'an, Software Al Qur'an, Ebook Al Qur'an, Tilawah Al Qur'an, Murattal Al Qur'an

1 September 2018


Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 17-18

Al-Baqarah ayat 17 - 18

{مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ (17) صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ (18) }

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).
Dikatakan matsalunmistlun, dan matsilunartinya perumpamaan bentuk jamaknya adalah amsal, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman lainnya:

وَتِلْكَ الْأَمْثالُ نَضْرِبُها لِلنَّاسِ وَما يَعْقِلُها إِلَّا الْعالِمُونَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Al-Ankabut: 43)
Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa Allah Swt. menyerupakan perbuatan mereka yang membeli kesesatan dengan keimanan —dan nasib mereka menjadi buta setelah melihat— dengan keadaan orang yang menyalakan api. Akan tetapi, setelah suasana di sekitarnya terang dan beroleh manfaat dari sinarnya, yaitu dapat melihat semua yang ada di kanan dan kirinya, telah menyesuaikan diri dengannya; di saat dalam keadaan demikian, tiba-tiba api tersebut padam. Maka ia berada dalam kegelapan yang pekat, tidak dapat melihat, dan tidak beroleh petunjuk. Selain itu keadaannya kini menjadi tuli tidak dapat mendengar, bisu tidak dapat berbicara lagi, buta seandainya keadaannya terang karena tidak dapat melihat. Karena itu, dia tidak dapat kembali kepada keadaan sebelumnya. Demikian pula keadaan orang-orang munafik itu yang mengganti jalan petunjuk dengan kesesatan dan lebih memilih kesesatan daripada hidayah.
Di dalam masal atau perumpamaan ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa pada awalnya mereka beriman, kemudian kafir, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah Swt dalam ayat lainnya.
Pendapat yang telah kami kemukakan ini diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, dari As-Saddi. Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, tasybih atau perumpamaan dalam ayat ini sangat benar, karena mereka pada mulanya memperoleh nur berkat keimanan mereka; kemudian pada akhirnya karena kemunafikan mereka, maka batallah hal tersebut dan terjerumuslah mereka ke dalam kebimbangan yang besar, mengingat tiada kebimbangan yang lebih besar daripada kebimbangan dalam agama.
Ibnu Jarir menduga bahwa orang-orang yang disebut dalam perumpamaan ini adalah mereka yang pernah tidak beriman di suatu waktu. Dia mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya:

{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ}

Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8)
Akan tetapi, yang benar hal ini merupakan berita mengenai keadaan mereka di saat munafik dan kafir. Pengertian ini tidak bertentangan dengan suatu kenyataan bila mereka pernah beriman sebelum itu, tetapi iman dicabut dari mereka, dan hati mereka dikunci mati. Barangkali Ibnu Jarir tidak menyadari ayat lainnya yang membahas topik yang sama, yaitu firman-Nya:

{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ}

Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (Al-Munafiqun: 3)
Karena itulah maka Ibnu Jarir menganalisis perumpamaan ini, bahwa mereka beroleh penerangan dari kalimat iman yang mereka tampakkan (yakni di dunia), kemudian hal selanjutnya yang menimpa mereka adalah kegelapan-kegelapan (yakni kelak di hari kiamat). Ibnu Jarir mengatakan bahwa dalam perumpamaan dianggap sah menggambarkan suatu jamaah seperti satu orang, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

{رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ}

Kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati. (Al-Ahzab: 19)
Yakni seperti orang yang sedang dalam keadaan sekarat menghadapi kematiannya. Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:

{مَا خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ}

Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. (Luqman: 28)

{مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا}

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. (Al-Jumu'ah: 5)
Sebagian ulama menakwilkannya, bahwa makna yang dimaksud ialah kisah mereka sama dengan kisah orang-orang yang menyalakan api. Sedangkan menurut ulama lainnya, orang yang menyalakan api itu adalah salah seorang dari mereka. Menurut yang lainnya lagi, lafaz al-lazi dalam ayat ini mengandung makna al-lazina (orang banyak), sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan seorang penyair berikut:

وَإِنَّ الَّذِي حَانَتْ بِفَلْجٍ دِمَاؤُهُمْ ... هُمُ الْقَوْمُ كُلُّ الْقَوْمِ يَا أُمَّ خَالِدِ


Sesungguhnya orang-orang yang telah tiba masanya bagi mereka mengalirkan darahnya (berkurban) di Falaj adalah kaum itu seluruhnya, hai Ummu Khalid!


Menurut kami, dalam ungkapan ini terjadi iltifat (pengalihan pembicaraan), yaitu di tengah-tengah perumpamaan dari bentuk tunggal kepada bentuk jamak. Sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:

{فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ * صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ}

Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah mereka akan kembali ke (jalan yang benar).(Al-Baqarah: 17-18)
Ungkapan seperti ini lebih fasih dan lebih mengena susunannya.
Zahaballahu binurihim, Allah hilangkan dari mereka manfaat api yang sedang mereka perlukan untuk penerangan; dan membiarkan hal yang membahayakan diri mereka, yaitu bara dan asapnya.
Watarakahum fi zulumatin, dan Allah membiarkan mereka berada dalam kegelapan (yakni keraguan, kekufuran, dan kemunafikan mereka).
La yubsirun, mereka tidak dapat melihat, yakni tidak mendapat petunjuk untuk menempuh jalan kebaikan dan tidak pula mengetahuinya.
Selain itu mereka summun, yakni tuli tidak dapat mendengar kebaikan; bukmun, bisu tidak dapat mengucapkan hal-hal yang bermanfaat bagi diri mereka; 'umyun, buta dalam kesesatan dan buta mata hatinya, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya:

{فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ}

Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)
Karena itu, mereka tidak dapat kembali ke jalan hidayah yang telah mereka tukar dengan kesesatan.

Komentar para ahli tafsir ulama salaf


As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan firman-Nya: 

{فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ}

Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. (Al-Baqarah: 17)
As-Saddi menduga ada sejumlah orang yang telah masuk Islam di saat Nabi Saw. tiba di Madinah, kemudian mereka munafik. Perumpamaan mengenai diri mereka sama dengan seorang lelaki yang pada mulanya berada dalam kegelapan, lalu dia menyalakan api. Ketika api menerangi sekelilingnya yang dipenuhi kotoran dan onak duri, maka dia dapat melihat hingga dapat menghindar. Akan tetapi, ketika ia dalam keadaan demikian, tiba-tiba apinya padam, hingga dia menghadapi situasi yang tidak ia ketahui mana yang harus dia hindarkan dari bahaya yang ada di depannya.
Yang demikian itulah perihal orang munafik, pada awalnya dia berada dalam kegelapan kemusyrikan, lalu masuk Islam hingga mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, juga mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika ia berada dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia kafir, akhirnya dia tidak lagi mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tidak pula mana yang baik dan mana yang buruk'.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini. Cahaya merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang dahulu sering mereka bicarakan, sedangkan kegelapan merupakan perumpamaan bagi kesesatan dan kekufuran mereka yang dahulu mereka perbincangkan. Mereka adalah suatu kaum yang pada mulanya berada dalam jalan petunjuk, kemudian hidayah dicabut dari mereka; sesudah itu akhirnya mereka membangkang, tidak mau beriman lagi.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Falamma ada-at ma haulahu" bahwa sinar api menunjukkan makna keadaan mereka di saat menghadap kepada orang-orang mukmin dan jalan hidayah.
Ata Al-Khurrasani sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran," mengatakan bahwa hal ini merupakan perumpamaan orang munafik yang kadangkala dia dapat melihat dan mengenai, tetapi setelah itu ia terkena buta hati.
Ibnu Abu Hatim mengatakan —dia telah meriwayatkan dari Ikri-mah, Al-Hasan, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas— hal yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Ata Al-Khurrasani.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran," mengatakan bahwa hal tersebut merupakan gambaran tentang sifat orang-orang munafik yang kadangkala dapat melihat dan mengenal, tetapi setelah itu ia terkena buta hati. Dia mengatakan pula sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran," hingga akhir ayat, bahwa hal tersebut merupakan tentang sifat orang-orang munafik. Pada mulanya mereka beriman hingga iman menyinari kalbu mereka, sebagaimana api menyinari mereka yang menyalakannya. Kemudian mereka kafir, maka Allah menghilangkan cahaya apinya dan mencabut imannya sebagaimana Dia menghilangkan cahaya api tersebut, hingga mereka tertinggal dalam keadaan yang sangat gelap tanpa dapat melihat.
Pendapat Ibnu Jarir serupa dengan riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. (Al-Baqarah: 17) Disebutkan bahwa hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan orang-orang munafik. Yaitu pada mulanya mereka merasa bangga dengan Islam, maka kaum muslim mau mengadakan pernikahan dengan mereka, saling mewaris dan saling membagi harta fai. Tetapi di kala mereka mati, Allah mencabut kebanggaan itu dari mereka sebagaimana cayaha api yang dihilangkan dari orang yang memerlukannya.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran" bahwa sesungguhnya cahaya api itu adalah cahaya api yang dinyalakannya. Tetapi bila api itu padam, maka lenyaplah cahayanya. Demikian pula keadaan orang munafik, manakala dia mengucapkan kalimat Ikhlas —yaitu la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah)— ia berada dalam cahaya yang terang; tetapi jika ia ragu, maka terjerumuslah ia ke dalam kegelapan.
Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Zaha-ballahu binurihim." Cahaya api mereka merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang selalu mereka bicarakan.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya:  Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. (Al-Baqarah: 17) Yang dimaksud dengan api ialah perumpamaan kalimah la ilaha illal-lah (tidak ada Tuhan selain Allah). Api itu menerangi mereka hingga mereka dapat makan dan minum, dianggap beriman di dunia, melakukan pernikahan, serta darah mereka terpelihara. Tetapi di kala mereka mati, Allah menghilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka berada dalam keadaan yang sangat gelap, tidak dapat melihat.
Sa'id meriyawatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa orang munafik yang mengucapkan kalimah la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) memperoleh cahaya dalam kehidupan di dunia. Untuk itu, mereka dapat menikah dengan kaum muslim melalui kalimah tersebut dan berperang bersama kaum muslim, dapat waris-mewaris dengan mereka, dan darah serta hartanya terlindungi. Tetapi di saat ia mati, kalimah tersebut ia cabut karena di dalam hatinya tidak ada pangkalnya; pada amal perbuatannya pun tidak ada hakikat kenyataan. Maka pada ayat selanjutnya disebutkan: dan Allah membiarkan mereka dalam kegelapan tidak dapat melihat. (Al-Baqarah: 17)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatil la yubsirun" yakni Allah meninggalkan mereka dalam kegelapan (maksudnya dalam azab) bila mereka mati.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatin," yakni mereka dapat melihat perkara hak dengan mata hatinya, dan mengatakannya hingga mereka dapat keluar dari kegelapan kekufuran. Akan tetapi, sesudah itu mereka memadamkannya melalui kekufuran dan kemunafikan mereka, akhirnya Allah membiarkan mereka dalam kegelapan kekufuran, hingga tidak dapat melihat hidayah dan tidak dapat berjalan lurus dalam perkara yang hak.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan berikut sanadnya mengenai firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatin," bahwa kegelapan tersebut merupakan perumpamaan bagi kemunafikan mereka.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa watarakahum fi zulumatin la yubsirunartinya hal tersebut terjadi ketika orang munafik mati. Maka amal perbuatan jahatnya merupakan kegelapan baginya, hingga dia tidak dapat menemukan suatu amal baik pun yang sesuai dengan kalimah la ilaha illallah.
Summun bukmun 'umyun, As-Saddi meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka bisu, buta serta tuli.
Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna summun bukmun 'umyun, bahwa mereka tidak dapat mendengar petunjuk, tidak dapat melihatnya, dan tidak dapat mem-haminya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah dan Qatadah ibnu Di'amah.
Fahum la yarji'una, menurut Ibnu Abbas mereka tidak dapat kembali ke jalan hidayah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.
As-Saddi meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya, "Summun bukmun 'umyun fahum la yarji'una," yakni mereka tidak dapat kembali kepada Islam. Sedangkan menurut Qatadah, mereka tidak dapat kembali itu maksudnya tidak dapat bertobat dan tidak pula mereka ingat.

Juz 1 Madaniyah Tafsir Surat Al Baqarah

Popular posts from this blog

RUQYAH SYAR'IYYAH - PANDUAN SYARA' DAN BATASAN-BATASANNYA

May 10, 2017

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'alayang telah menciptakan manusia kemudian memuliakannya dengan derajat yang tiada terhingga. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi wasallam. Beliau dengan segala pengorbanan dan tanggung jawabnya menunaikan tugas dan menyampaikan amanah dengan sempurna, telah mendidik kita ke jalan yang lurus. Doa dan salam semoga pula senantiasa tercurahkan kepada keluarga, shahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Modul Daurah Ruqyah Syar'iyyah bersama Syaikh Abual-Barra` yang terdiri dalam 4 bab yang telah disusun dan diterjemahkan tim dari Ruqyah Learning Center Indonesia ini telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi para Peruqyah Syar’iyyah di Indonesia pada era saat ini. Materi Ruqyah Syar’iyyah telah dijadikan panduan yang mengarahkan para Peruqyah pada jalan yang lurus dalam memahami dan mengimplementasikan praktek-praktek ruqyah dalam kehidupan. Karena itu, bebera…

BACA SELENGKAPNYA »

Tafsir Surat Luqman, ayat 13-15

September 05, 2015

{وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) }Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ib…

BACA SELENGKAPNYA »

Tafsir Surat Fathir, ayat 32

September 29, 2015

{ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32) } Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. Allah Swt. berfirman, "Kemudian Kami jadikan orang-orang yang mengamalkan Kitab yang Besar yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya adalah orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami," Mereka adalah umat Nabi Muhammad Saw. Kemudian mereka terbagi menjadi tiga golongan, untuk itu Allah Swt. berfirman: {فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ} lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri. (Fathir: 32) Dia ad…

BACA SELENGKAPNYA »


Theme images by Michael Elkan

Radio RLC Online

Archive

Labels

Report Abuse


Tafsir Surat Al-Baqarah: 16-20

Menu


Tafsir Surat Al-Baqarah: 16-20

Kemudian Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyingkap hakikat dari kondisi mereka (orang-orang munafiq, -Ad),

“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah:16)

____________________________


Tafsir ayat:

16. Mereka itulah; maksudnya orang-orang munafiq yang bersifat dengan sifat-sifat tersebut, {الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ } “Orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk” maksudnya mereka suka terhadap kesesatan sebagaimana seorang  pembeli suka terhadap suatu barang dagangan, yang –di antara kesukaannya terhadap kesesatan itu- membuat ia mengeluarkan harta yang berharga untuk mendapatkannya, dan ini adalah suatu perumpamaan yang paling sesuai, karena Allah menjadikan kesesatan yang merupakan puncak dari segala kejahatan seperti barang dagangan dan Dia menjadikan petunjuk yang merupakan puncak dari segala kebaikan setingkat dengan harga barang, lalu mereka menyerahkan petunjuk karena tidak suka terhadapnya untuk mendapatkan kesesatan karena suka terhadapnya, maka inilah perdagangan mereka, sungguh jeleklah perdagangan mereka itu, dan inilah transaksi mereka, sungguh jeleklah transaksi mereka.

Apabila seseorang mengeluarkan dinarnya untuk mendapatkan uang dirham maka ia telah rugi, lalu bagaimanakah orang yang mengeluarkan permata untuk mendapatkan uang dirham? Dan bagaimanakah orang yang mengeluarkan petunjuk untuk mendapatkan kesesatan? Dan ia lebih memilih kesengsaraan dari pada kebahagiaan, serta lebih suka terhadap perkara-perkara yang tidak berarti dengan meninggalkan perkara-perkara yang berguna? Akhirnya tidak beruntunglah perdagangan tersebut, bahkan ia merugi dalam hal itu dengan kerugian yang paling besar, mereka itulah orang-orang yang rugi diri mereka dan keluarga mereka pada hari kiamat, camkanlah bahwa itulah kerugian yang nyata.[1] Dan firman-Nya { وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ } “Dan tidaklah mereka mendapat petunjuk” sebagai penegasan akan kesesatan mereka dan bahwasanya mereka tidak mendapatkan sedikitpun petunjuk, maka inilah sifat-sifat mereka yang jelek, kemudian Allah menyebutkan perumpamaan mereka –yang  menyingkap hal itu dengan sejelas-jelasnya- seraya berfirman,

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 17-20)

____________________________


Tafsir ayat:

17. Yaitu perumpamaan mereka yang sesuai dengan kondisi mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, yaitu ia berada dalam kegelapan yang pekat, dan sangat membutuhkan api, lalu menyala dari selain dirinya dan ia sendiri tidak memiliki persiapan akan tetapi di luar kesiapannya, dan ketika api itu telah menerangi sekitarnya, dan ia mampu melihat tempat di mana ia berada dan segala yang rasakan berupa kekhawatiran, ia menenangkan diri dan memanfaatkan api tersebut, lalu tenanglah pandangannya, dan ia mengira bahwa ia menguasai kondisi itu.

Lalu ketika ia berada dalam kondisi seperti itu, Allah memadamkan cahaya-Nya hingga hilanglah cahaya dari api itu dan lenyaplah kebahagiaannya, lalu ia berada kembali dalam kegelapan yang pekat sedangkan api masih menyala-nyala namun karena hilang cahaya darinya dan tinggallah padanya api yang menyala-nyala, dan ia berada dalam kegelapan yang bermacam-macam; kegelapan malam, kegelapan awan, kegelapan hujan, dan kegelapan yang terjadi setelah adanya cahaya, maka bagaimanakah kondisi orang yang seperti ini?

Demikianlah juga orang-orang munafiq yang menyalakan api keimanan dari kaum mukminin namun tidak menjadi ciri bagi mereka, mereka menjadikannya penerangan untuk sementara waktu dan memanfaatkannya hingga terjagalah darah mereka dan selamatlah harta mereka, serta mereka mendapatkan suatu keamanan di muka bumi ini, lalu ketika mereka dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba kematian menyergap mereka, dan menghentikan pemanfaatan mereka terhadap cahaya tersebut, hingga terjadilah kegundahan, kebimbangan, dan siksaan, dan mereka mendapatkan kegelapan kubur, kegelapan kekufuran, kegelapan kemunafiqan dan kegelapan kemaksiatan dengan segala perbedaan coraknya, lalu kemudian setelah itu kegelapan api neraka; dan itulah seburuk-buruk kediaman, oleh karena itu Allah berfirman tentang mereka.

18. { صُمٌّ } “Mereka tuli” maksudnya tuli dari mendengarkan kebaikan, { بُكْمٌ  } “bisu” maksudnya bisu dari membicarakannya, {  عُمْيٌ } “dan buta” dari melihat kebenarannya. { فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ } “Maka tidaklah mereka akan kembali ke jalan yang benar” karena mereka meninggalkan kebenaran setelah mereka mengetahuinya, lalu mereka tidak kembali kepadanya, berbeda dengan orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan, karena sesungguhnya ia tidak berfikir dan ia lebih dekat untuk kembali daripada mereka.

19. Kemudian Allah Subhaanahu wa Ta’alaberfirman, { أَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاءِ } “Atau seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit” yaitu yang terkena hujan, dia adalah hujan yang mengalir, yaitu turun dengan derasnya, { فِيهِ ظُلُمَاتٌ} “disertai gelap gulita” kegelapan malam, kegalapan awan, dan kegelapan hujan yang ada padanya, { وَرَعْدٌ } “guruh” yaitu suara yang terdengar dari awan dan juga ada padanya { وَبَرْقٌ} “kilat” yaitu cahaya yang menyala dan terlihat dari awan.

20. { كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُم } “Setiap kali kilat itu menyinari mereka” kilat dalam kegelapan-kegelapan tersebut, { مَّشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا } “Mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti” yaitu mereka diam, seperti itulah kondisi orang-orang munafiq ketika mereka mendengarkan al-Qur’an, perintah-perintahnya, larangan-larangannya, janji dan ancamannya. Mereka meletakkan jari-jemari mereka pada telinga-telinga mereka dan mereka berpaling dari perintahnya, larangannya, janjinya dan ancamannya, lalu ancamannya menggetarkan mereka, janji-janjinya mengganggu mereka, dan mereka berpaling darinya dengan sekuat apapun, hingga membuat mereka lebih kokoh, mereka membencinya seperti seorang yang terkena hujan dan ia mendengar guruh lalu meletakkan jari-jemarinya pada kedua telinganya karena takut dari kematian, orang ini masih mempunyai kemungkinan saja memperoleh keselamatan. Adapun orang-orang munafiq, dari manakah mereka memperoleh keselamatan, padahal Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengawasi mereka baik dengan kemampuan maupun pengetahuan [-Nya] dan mereka tidak akan lepas dari-Nya dan tidak mampu melemahkan-Nya, bahkan Dia menjaga perbuatan-perbuatan mereka, lalu memberikan balasan atasnya dengan balasan yang setimpal.

Dan ketika mereka diuji dengan ketulian, kebutaan dan kebisuan maknawi serta tertutupnya  pintu-pintu keimanan bagi mereka , Allah berfirman { وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ } “Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka” yaitu yang bersifat nyata, dalam hal ini merupakan sebuah tindakan menakut-nakuti mereka, dan peringatan dari hukuman dunia, agar mereka berhati-hati lalu mengambil pelajaran dari sebagian kejahatan dan kenifaqan mereka. { إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  } “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu” Dia tidaklah lemah terhadap apapun, dan di antara kekuasaan-Nya adalah bahwa apabila Dia menghendaki sesuatu, niscaya Dia lakukan tanpa ada penghalang dan tanpa ada perintang.

Dalam ayat ini dan ayat-ayat yang semisalnya ada sebuah jawaban terhadap al-Qadariyah yang berpendapat bahwasanya perbuatan-perbuatan mereka tidaklah termasuk dalam kekuasaan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, karena perbuatan-perbuatan mereka termasuk bagian dari hal-hal yang masuk dalam firman-Nya, { إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ } “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu

Sumber Penulisan:

1. Kitab Taisir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Darul Hadits, Kairo hal. 26-27. Dan dcocokkan ulang pada kitab yang sama dari cetakan Darul Ibnu Hazm hal. 29 kolom ke-3

2. dengan terjemahannya: Tafsir As-Sa’di (1), cetakan Pertama, Pustaka Sahifa, Jakarta hal. 78-83

Catatan kaki:

[1] قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat”. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS.az-Zumar [39]: 15)

Beri peringkat:

 

 

 

 

 

 

Rate This

Bagikan ke Teman Anda melalui:

Twitter


Facebook1


Surat elektronik


Google


Cetak


Simpan Dalam PDF


Terkait

Tafsir Surat Al-Baqarah: 11-13dalam "Tafsir"

Tafsir Surat Al-Baqarah: 14-15dalam "Tafsir"

Tafsir Surat Al-Baqarah: 8-10dalam "Tafsir"

Juni 7, 2011Tinggalkan Balasan

« SebelumnyaBerikutnya »

Apa Komentar Anda?

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar 

Nama*

Surel*

Situs Web

 Beri tahu saya komentar baru melalui email.

 Beritahu saya pos-pos baru lewat surat elektronik.

Pengantar Admin

MOHON Perhatiannya, Blog ini juga termasuk hasil karya, maka jika Anda mau COPAS (copy-paste) konten blog ini, jadikan untuk kepentingan dakwah Islam, BUKAN untuk tujuan komersil atau hal lain yang tidak dibenarkan, dan sertakan Alamat Blog Ini . SAYA SEKEDAR MENGINGATKAN...ayo kita ber-ETIKA baik di internet. SILAHKAN anda COPAS sepuasnya. Jazakallahu khairan


Berlangganan Artikel

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Kategori

Kategori  Pilih Kategori  Akhlak  (16)  Aqidah  (20)  Catatan Bebas  (15)  Diniyah  (24)  Download  (42)  FIKIH  (56)  Hadits  (9)  Kesehatan  (3)  Kisah  (2)  Tafsir  (17)  Tutorial  (12)  Umum  (9) 

 Artikel Majalah dan Buletin Terbaru

Musa dan Ayah Dua Perempuan Madyan …


MENGAPA SAYA SALUT KEPADA WAHABI


Tawaran Menarik


Belum ada Postingan Baru Lagi


Jangan Berputus Asa Terhadap Sesuatu yang Luput Darimu (Faidah dari QS. Al Hadid: 22-23)


Film Tentang Nabi, Virus Berkedok Agama


TRAGEDI GAZA, Ujian Bagi Seluruh Kaum Muslimin


Memahami Tauhid Asma wa Shifat


Begitukah Cara Mencintai Nabi?


KEHANCURAN YAHUDI Sudah Dekat


Statistik dari Wordpress

728.821 Pengunjung sejak 22 Januari 2012


Banner





Arsip

Arsip  Pilih Bulan   Desember 2015  (1)   Juni 2013  (3)   Mei 2013  (3)   April 2013  (5)   Maret 2013  (2)   Januari 2013  (2)   Juli 2012  (3)   Juni 2012  (3)   Mei 2012  (7)   April 2012  (7)   Maret 2012  (38)   Februari 2012  (68)   Januari 2012  (14)   Desember 2011  (1)   Juli 2011  (7)   Juni 2011  (10)   Mei 2011  (3)   April 2011  (12)   Maret 2011  (26)   Februari 2011  (1)   Januari 2011  (1) 

Negara Pengunjung


Free counters

Harapan

Kami berharap semoga apa yang tersaji di sini dapat bermanfaat bagi agama dan dunia kita semua. Aamiin ya Robbal 'aalamiin. Terima kasih atas kunjungan Anda semua. Jazakumullahu khairan wa barakallahu fiikum.



Privasi & Cookie: Situs ini menggunakan cookie. Dengan melanjutkan menggunakan situs web ini, Anda setuju dengan penggunaan mereka. 
Untuk mengetahui lebih lanjut, termasuk cara mengontrol cookie, lihat di sini: Kebijakan Cookie



Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 14-15


Terjemah Al Qur'an, Tafsir Al Qur'an, Ilmu Al Qur'an, Software Al Qur'an, Ebook Al Qur'an, Tilawah Al Qur'an, Murattal Al Qur'an


Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 14-15

Al-Baqarah ayat 14-15

{وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ (14) اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (15) }

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanyalah ber-olok-olok." Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.
Allah Swt. berfirman, "Apabila orang-orang munafik bersua dengan orang-orang mukmin, mereka berkata, 'Kami beriman'." Mereka menampakkan kepada kaum mukmin seakan-akan diri mereka beriman dan berpihak atau bersahabat dengan kaum mukmin. Akan tetapi, sikap ini mereka maksudkan untuk mengelabui kaum mukmin dan diplomasi mereka untuk melindungi diri agar dimasukkan ke dalam golongan orang-orang mukmin dan mendapat bagian ganimah dan kebaikan yang diperoleh kaum mukmin.
Bilamana mereka kembali bersama setan-setannya. Makna yang dimaksud ialah bilamana mereka kembali dan pergi dengan setan-setan mereka tanpa ada orang lain. Lafaz khalau mengandung makna insarafu, yakni kembali, karena ia muta'addi dengan huruf ila untuk menunjukkan fi'il yang tidak disebutkan dan yang disebutkan. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa ila di sini bermakna ma'a, yakni "apabila mereka berkumpul bersama setan mereka tanpa ada orang lain". Akan tetapi, makna yang pertama lebih baik, yaitu yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir.
As-Saddi mengatakan dari Abu Malik, khalau artinya pergi menuju setan-setan mereka. Syayatin artinya pemimpin dan pembesar atau kepala mereka yang terdiri atas kalangan pendeta Yahudi, pemimpin-pemimpin kaum musyrik dan kaum munafik. As-Saddi di dalam kitab Tafsir-nya mengatakan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw., bahwa yang dimaksud dengan setan-setan mereka dalam firman-Nya, "Wa iza khalau ila syayatinihim," ialah para pemimpin kekufuran mereka.
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ialah apabila mereka kembali kepada teman-temannya. Teman-teman mereka disebut setan-setan mereka.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Dan apabila mereka kembali kepada setan-setan mereka," yakni yang terdiri atas kalangan orang-orang Yahudi, yaitu mereka yang menganjurkannya untuk berdusta dan menentang apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Mujahid mengatakan bahwa makna syayatinihim ialah teman-teman mereka dari kalangan orang-orang munafik dan orang-orang musyrik.
Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan syayatinihim ialah para pemimpin dan para panglima mereka dalam kemusyrikan dan kejahatan. Hal yang semisal dikatakan pula oleh Abu Malik, Abul Aliyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa syayatinartinya segala sesuatu yang membangkang. Adakalanya setan itu terdiri atas kalangan manusia dan jin, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya:

وَكَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (Al-An'am: 112)
Di dalam kitab Musnad disebutkan sebuah hadis dari Abu Zar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

"نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شَيَاطِينِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ". فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلِلْإِنْسِ شَيَاطِينٌ؟ قَالَ: "نَعَمْ"

"Kami berlindung kepada Allah dari setan-setan manusia dan setan-setan jin." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah manusia itu ada yang menjadi setan?" Nabi Saw. menjawab, 'Ya."
Qalu inna ma'akum, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami bersama kalian." Menurut Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa maknanya ialah "sesungguhnya kami sependirian dengan kalian". Innama nahnu mustahziun, sesungguhnya kami hanya mengajak mereka dan mempermainkan mereka.
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok dan mengejek teman-teman Muhammad." Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah.
Sebagai bantahan dari Allah Swt. terhadap perbuatan orang-orang munafik itu, maka Allah Swt. berfirman: Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Al-Baqarah: 15)
Ibnu Jarir mengatakan, Allah Swt. memberhahukan bahwa Dialah yang akan melakukan pembalasan terhadap orang-orang munafik itu kelak di hari kiamat, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

يَوْمَ يَقُولُ الْمُنافِقُونَ وَالْمُنافِقاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَراءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُوراً فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بابٌ باطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذابُ

Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, "Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahaya kalian." Dikatakan (kepada mereka), "Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian)." Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. (Al-Hadid: 13)
Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:

وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّما نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّما نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدادُوا إِثْماً

Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka. (Ali Imran: 178)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal ini dan yang serupa dengannya merupakan ejekan, penghinaan, makar, dan tipu muslihat Allah Swt. terhadap orang-orang munafik dan orang-orang musyrik, menurut orang yang menakwilkan ayat ini dengan pengertian tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan pula, bahwa ulama lainnya mengatakan bahwa ejekan Allah terhadap mereka berupa celaan dan penghinaan Allah terhadap mereka karena mereka telah berbuat durhaka dan kafir kepada-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan pula, "Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa ungkapan seperti ini dan yang semisal merupakan ungkapan pembalikan." Perihalnya sama dengan ucapan seseorang terhadap orang yang menipunya bila ternyata ia dapat membalikkan tipuan lawannya, "Justru akulah yang telah menipumu (bukan kamu yang menipuku)." Akan tetapi, dalam hakikatnya Allah tidak melakukan tipuan; melainkan Dia mengatakan hal tersebut hanya semata-mata menggambarkan tentang akibat dari apa yang diperbuat mereka. Para ulama yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa hal yang sama terdapat pula di dalam firman-Nya:

وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْماكِرِينَ

Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ali Imran: 54)

{اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ}

Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (Al-Baqarah: 15)
Hal tersebut merupakan jawaban semata, karena sesungguhnya Allah tidak melakukan makar dan tidak pula ejekan. Dengan kata lain, makna yang dimaksud ialah bahwa makar dan tipu daya mereka itu justru menimpa diri mereka sendiri (barang siapa menggali lubang, dia sendiri yang akan terjerumus ke dalamnya).
Ulama lainnya mengatakan bahwa firman-Nya: Sesungguhnya kami hanyalah berolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (Al-Baqarah: 14-15)

يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ

Mereka (orang-orang munafik) menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (An-Nisa: 142)

فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ

Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka. (At-Taubah: 79)

ونَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ

Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. (At-Taubah: 67)
Demikian pula ayat-ayat lainnya yang semakna, semuanya merupakan berita dari Allah Swt. bahwa Dia pasti akan memberikan balasan terhadap mereka dengan balas memperolok-olokkan dan menyiksa mereka dengan siksaan tipuan, sebagaimana tipuan yang telah mereka lakukan. Kemudian berita mengenai balasan Allah dan siksaan-Nya kepada mereka diungkapkan dengan gaya bahasa yang sama dengan perbuatan mereka yang menyebabkan mereka berhak mendapat siksaan-Nya, hanya dari segi lafaznya saja, tetapi maknanya berbeda. Perihalnya sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya:

وَجَزاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُها فَمَنْ عَفا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. (Asy-Syura: 40)

{فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ}

Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194)
Makna pertama mengandung pengertian perbuatan aniaya, sedangkan makna yang kedua mengandung pengertian keadilan. Lafaz yang dipakai pada keduanya sama, tetapi makna yang dimaksud berbeda; berdasarkan pengertian inilah semua makna yang sejenis di dalam Al-Qur'an diartikan dengan pengertian seperti ini.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, sesungguhnya makna yang dimaksud ialah bahwa Allah memberitakan perihal orang-orang munafik; apabila mereka berkumpul dengan pemimpin-pemimpinnya, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian dalam mendustakan Muhammad dan apa yang didatangkannya. Sesungguhnya kata-kata yang kami ucapkan dan sikap yang kami perlihatkan kepada mereka hanyalah mengolok-olokkan mereka." Maka Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia membalas mengolok-olok mereka. Untuk itu, Allah menampakkan kepada mereka sebagian dari hukum-hukum-Nya di dunia, yaitu darah mereka terpelihara, begitu pula harta benda mereka, padahal hal itu kebalikan dari apa yang akan terjadi pada diri mereka kelak di hari kemudian di sisi-Nya, yaitu azab dan siksaan.
Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan alasan dukungannya terhadap pendapat ini, mengingat tipu daya, makar, dan olok-olokan secara main-main dan tidak ada gunanya merupakan hal yang mustahil akan dilakukan oleh Allah Swt. menurut kesepakatan semua. Bila hal tersebut diartikan sebagai pembalasan dan ganjaran-ganjaran yang setimpal secara adil, dapatlah dimengerti.
Ibnu Jarir mengatakan, ada sebuah riwayat yang sependapat dengan apa yang telah kami katakan, diketengahkan dari sahabat Ibnu Abbas. Di dalam riwayat ini disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Usman, telah menceritakan kepada kami Bisyr, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Allahu yastahzi-u bihim," artinya Allah memperolok-olok mereka sebagai pembalasan-Nya terhadap tindakan mereka.

***********


Firman Allah Swt.:

{وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}

dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Al-Baqarah: 15)
Menurut As-Saddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Nabi Saw., yamudduhumartinya Allah membiarkan mereka.
Mujahid mengatakan bahwa makna yamudduhum ialah menambahkan kepada mereka, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

أَيَحْسَبُونَ أَنَّما نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مالٍ وَبَنِينَ نُسارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْراتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ

Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan kepada mereka! Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (Al-Mu’minun: 55-56)
Dan firman Allah Swt.:

سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ

Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui. (Al-A'raf: 182)
Sebagian ulama mengatakan bahwa setiap kali mereka melakukan dosa yang baru, maka Allah memberikan kepada mereka nikmat yang baru. Tetapi pada hakikatnya hal itu merupakan azab, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam ayat lain:

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنا عَلَيْهِمْ أَبْوابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذا فَرِحُوا بِما أُوتُوا أَخَذْناهُمْ بَغْتَةً فَإِذا هُمْ مُبْلِسُونَ. فَقُطِعَ دابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An'am: 44-45)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna yang benar ialah Kami menambahkan kepada mereka, dengan pengertian membiarkan dan memperturutkan mereka di dalam kesombongan dan pembangkangannya, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصارَهُمْ كَما لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ

Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An'am: 110)
At-tugyan artinya melampaui batas dalam suatu hal, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

إِنَّا لَمَّا طَغَى الْماءُ حَمَلْناكُمْ فِي الْجارِيَةِ

Sesungguhnya Kami tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kalian ke dalam bahtera. (Al-Haqqah: 11)
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa fi tugyanihim ya'mahun artinya di dalam kekufurannya mereka terombang-ambing. Hal yang sama ditafsirkan pula oleh As-Saddi berikut sanadnya dari para sahabat. Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Mujahid, Abu Malik, dan Abdur Rahman ibnu Zaid, bahwa mereka terombang-ambing di dalam kekufuran dan kesesatan.
Ibnu Jarir mengatakan lafaz al-'amah artinya sesat, dikatakan 'cmiha fulanun, ya'mahu, 'amahan, dan 'amuhan artinya si Fulan telah tersesat. Ibnu Jarir mengatakan, makna fi tugyanihim ya'mahun artinya ialah di dalam kekufuran dan kesesatan yang menggelimangi dan menutupi diri mereka karena perbuatan kotor dan najis, mereka terombang-ambing dalam kebingungan dan kesesatan; mereka tidak akan dapat menemukan jalan keluar, karena Allah Swt telah mengun-ci mati hati mereka dan mengelaknya serta membutakan pandangan hati mereka dari jalan hidayah, hingga tertutup pandangan mereka, ti-dak dapat melihat petunjuk, tidak dapat pula mengetahui jalannya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa al-'ama (buta) khusus bagi buta mata, sedangkan al-'amah khusus bagi buta hati; tetapi adakalanya lafaz al-'ama dipakai untuk pengertian buta hati, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:

فَإِنَّها لَا تَعْمَى الْأَبْصارُ وَلكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)
Dikatakan 'amihar rajulu (عَمِهَ الرَّجُلُ) artinya lelaki itu pergi tanpa mengetahui tujuan. Bentuk mudari'-nya ya'mahu (يَعْمَهُ) , bentuk isim fa'il-nya 'amihun (عَمِهٌ) dan 'amihun (عَامِهٌ); bentuk jamaknya 'amahun (عُمَّهٌ), sedangkan bentuk masdarnya ialah 'amuhan (عُمُوهًا) . Dikatakan zahabat ibiluhul 'amha-u (ذَهَبَتْ إِبِلُهُ الْعَمْهَاءُ) jika untanya tidak diketahui ke mana perginya.

Juz 1 Madaniyah Tafsir Surat Al Baqarah

Popular posts from this blog

RUQYAH SYAR'IYYAH - PANDUAN SYARA' DAN BATASAN-BATASANNYA

May 10, 2017

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'alayang telah menciptakan manusia kemudian memuliakannya dengan derajat yang tiada terhingga. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi wasallam. Beliau dengan segala pengorbanan dan tanggung jawabnya menunaikan tugas dan menyampaikan amanah dengan sempurna, telah mendidik kita ke jalan yang lurus. Doa dan salam semoga pula senantiasa tercurahkan kepada keluarga, shahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Modul Daurah Ruqyah Syar'iyyah bersama Syaikh Abual-Barra` yang terdiri dalam 4 bab yang telah disusun dan diterjemahkan tim dari Ruqyah Learning Center Indonesia ini telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi para Peruqyah Syar’iyyah di Indonesia pada era saat ini. Materi Ruqyah Syar’iyyah telah dijadikan panduan yang mengarahkan para Peruqyah pada jalan yang lurus dalam memahami dan mengimplementasikan praktek-praktek ruqyah dalam kehidupan. Karena itu, bebera…

BACA SELENGKAPNYA »

Tafsir Surat Luqman, ayat 13-15

September 05, 2015

{وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) }Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ib…

BACA SELENGKAPNYA »

Tafsir Surat Fathir, ayat 32

September 29, 2015

{ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32) } Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. Allah Swt. berfirman, "Kemudian Kami jadikan orang-orang yang mengamalkan Kitab yang Besar yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya adalah orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami," Mereka adalah umat Nabi Muhammad Saw. Kemudian mereka terbagi menjadi tiga golongan, untuk itu Allah Swt. berfirman: {فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ} lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri. (Fathir: 32) Dia ad…

BACA SELENGKAPNYA »


Theme images by Michael Elkan

Radio RLC Online

Archive

Labels

Report Abuse


Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 13

alqur'anmulia

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 13

 untungsugiyarto

4 tahun yang lalu

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman. Mereka menjawab: ‘Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman’. Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.” (QS. 2:13)

Allah Swt. berfirman, apabila dikatakan kepada orang-orang munafik, “Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang beriman,” yakni seperti keimanan manusia kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, adanya kebangkitan setelah kematian, surga, neraka, dan lain-lainnya yang telah diberitahukan kepada orang-orang yang beriman. Dan juga dikatakan, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.” Maka mereka pun mengatakan, ‘Apakah kami harus beriman sebagaimana orang orang yang bodoh telab beriman. “Yang mereka maksudkan di sini adalah para sahabat Rasulullah . Demikian menurut pendapat Abu al-‘Aliyah, as-Suddi dalam tafsirnya, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Masud serta beberapa orang sahabat. Hal yang sama juga dikatakan oleh ar-Rabi’ bin Anas, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan lain-lainnya. Orang-orang munafik itu mengatakan, “Apakah kami dan mereka harus berada dalam satu kedudukan, sementara mereka adalah orang-orang bodoh?” kata “as-sufaHaa-u” adalah jamak dari seperti kata “safiiHu” seperti kata “al-hukamaa-u” adalah jamak dari “hakiimun”.
“Makna sufaha adalah bodoh dan kurang (lemah) pemikirannya serta sedikit pengetahuannya tentang hal-hal yang bermaslahat dan bermudharat.

Dan Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memberikan jawaban mengenai semua hal yang berkenaan dengan itu kepada mereka melalui firman-Nya, alaa innaHum sufaHaa-u; (“Ingatlah sesungguhnya mereka itulah orang orang yang bodoh.”)

Dan Dia menegaskan kebodohan mereka itu dengan firman-Nya, “Tetapi mereka tidak mengetahui. ” Artinya, di antara kelengkapan dari kebodohan mereka itu adalah mereka tidak mengetahui bahwa mereka berada dalam kesesatan dan kebodohan. Dan yang demikian itu lebih menghinakan mereka dan lebih menunjukan mereka berada dalam kebutaan dan jauh dari petunjuk.

&

Kategori: Tafsir Al-Qur'an

Tag: al-baqarahAl-qur'analbaqarahalquranayat 13ibnu kathiribnu katsirsurahsurattafsir


alqur'anmulia

Kembali ke atas

Kamis, 30 Agustus 2018

Hikmah surat al-kahfi


×

HOME › PINTAR ISLAM

Keutamaan Membaca Surat Al Kahfi dan Kisah Penuh Hikmah di dalamnya

Add Comment

Sebagai seorang Muslim tentu anda pernah atau sering membaca Al-Qur’an termasuk membaca surat Al Kahfi yang ada di dalamnya. Surat Al Kahfi terdiri dari 110 ayat, surat ini sendiri termasuk surat yang ke18 dan surat Al Kahfi ini termasuk surat Makiyah atau surat yang diturunkan dikota Makkah. Al Kahfi yang berarti Gua, surat ini dikenal isinya yang menceritakan Ashabul Kahfi yang berarti penghuni-penghuni gua.

Surat Al Kahfi ini berisi tentang 4 cerita yang syarat akan hikmah-hikmah yang bisa anda ambil untuk dijadikan sebagai contoh dan pelajaran. Berikut ini adalah 4 kisah yang terkandung dalam suratAl Kahfi.

flickr.com

Kisah Penuh Hikmah yang ada dalam Surat Al-Kahfi

1. Ashabul Kahfi

Baca Juga

Niat Puasa Ramadhan, Hukum, Keutamaan Serta Hikmahnya


Keistimewaan Malam Nisfu Sya’ban, Amalan, Faedah dan Dalil Tentang Malam Nisfu Sya’ban


Tata Cara Mandi Wajib Setelah Haid / Menstruasi


Kisah pertama menceritakan tentang kisah Ashabul Kahfi yang diawali dari ayat ke 9 sampai ayat ke 26. Kisah Ashabul Kahfi adalah kisah sekelompok pemuda Muslim yang tinggal di negeri kafir. Sekelompok pemuda ini bertekad untuk berhijrah yang bertujuan untuk mempertahankan agamanya. Dan Ini mereka lakukan setelah mendapatkan penolakan, penghinaan, dan tekanan dari kaumnya karena dakwahnya.

Sekelompok pemuda itu menghadapi fitnah Dien dalam menyerukan agama atau dakwah serta perjuangan dari kaumnya. Lalu Allah memberi pertolongan kepada mereka dengan menjaga mereka melalui gua dan sinar matahari.

Mereka tertidur di dalam gua selama bertahun-tahun dan ketika bangun mereka sudah mendapati negeri yang mereka tinggali telah berubah dari kaum kafir menjadi kaum dan negeri yang beriman kepada ALLAH SWT.

2. Pemilik Kebun

Kisah yang kedua dari surat Al Kahfi adalah tentang pemilik dua kebun, kisah ini diawali dari ayat 32-44. Kisah ini menceritakan tentang seseorang yang diberi kebun oleh Allah, tetapi ia lupa dengan nikmat itu. Sehingga dia melampaui batas, ia tidak bersyukur dan ia meninggalkan prinsip-prinsip keimanan dengan keraguan dan hinaan atau celaan.

Ujung dari kekufuran, kesyirikan dan kelalaian tersebut maka hancurlah buah-buahan dan tanaman yang ada di taman atau kebunnya. Ia diliputi penyesalan yang teramat dalam disaat tak berguna penyesalanya tersebut. Kisah ini dapat anda ambil hikmahnya tentang bahayanya fitnah dunia berupa harta dan anak. Sehingga ia lupa untuk bersyukur, yang ia inginkan hanya memperbanyak kekayaan dan keturunan.

Sedangkan pemilik kebun yang tidak sombong dan selalu meminta pertolongan kepada Allah kebun beserta tanaman dan buah-buahnya masih utuh, karena ia selalu bersyukur atas nikmat dan karunia yang Allah berikan kepadanya.

Solusi dari fitnah ini adalah dengan memahami hakikat dunia seperti dalam ayat yang ke 7 yang artinya

“Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.”

3. Nabi Musa dan Nabi Khidir

Kisah yang ketiga dalam surat Al Kahfi adalah kisah dari Nabi Musa As dan Nabi Khidir. Kisah ini diawali dari ayat ke 60 sampai 82. Kisah ini menceritakan tentang fitnah ilmu.Yakni kisahnya adalah ketika Musa ditanya “siapa penduduk bumi yang paling alim atau pandai? Lalu Nabi Musa menjawab “saya”.

Kemudian Allah mengabarkan bahwa ada manusia yang lebih pandai atau alim darinya. Setelah itu Nabi Musa pergi untuk belajar kepada orang yang lebih pandai darinya. Dan Nabi Musa pun paham akan hikmah Ilahiyah yang Allah berikan kepada selain dirinya.

penyakit dari orang yang berilmu adalah terlalu bangga dengan ilmu yang dia punya dan merasa paling alim didunia ini

Solusi dari fitnah ilmu ini adalah dengan bersikap bertawadu’ dalam diri.

4. Raja Dzulqarnain

Kisah keempat dari surat Al Kahfi adalah kisah Dzulqarnain. Kisah ini menceritakan tentang raja mulia yang sudah menguasai ilmu dan kekuatan. Kisah ini diawali dari ayat ke 83 sampai 101.
Raja ini mengelilingi dunia untuk menebarkan kebaikan diseluruh muka bumi, ia suka menolong manusia. Dan ia mampu membendung dari kekejaman atau kejahatan Ya’juj dan Ma’juj dengan cara membangun tembok untuk mengurung makhluk-makhluk perusak tersebut.

Raja Dzulqarnain ini tidak terfitnah dengan kekuatan dan kekuasannya. Ia gunakan kelebihan dari Allah tersebut untuk berbuat kebaikan dan untuk mencari akhirat dengan menolong dan berbuat baik kepada manusia yang lemah.

Nah dari 4 kisah yang ada dalam surat Al Kahfi ini, yaitu kisah pemilik dua kebun, kisah Ashabul Kahfi, kisah Zulqarnain, dan kisah Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir anda dapat mengambil hikmah yang ada pada kisah-kisah di dalam surat Al Kahfi tersebut.


Keutamaan Membaca Surat Al Kahfi

Dan tentang keutamaan membaca surat Al Kahfi nabi Muhammad SAW bersabda :

“Siapa yang membaca suratAl Kahfi pada hari Jumat pada hari Jum’at, maka (ALLAH) akan menerangi dengan cahaya antara dua Jum’at.” (H.R.Al-Hakim dan Al-Baihaqiy, yang dinyatakan oleh ibnu Hajar dalam Takhrij al-adzkar).

Hadits diatas adalah hadits yang menganjurkan membaca surat Al Kahfi  pada malam Jum’at atau pada jum’atnya karena surat Al Kahfi ini memiliki beberapa keutamaan atau fadilah.

Pahala atau ganjaran yang akan didapat ketika membaca surat Al Kahfi adalah akan disinari atau diberi cahaya.

Cahaya ini akan diberikan pada hari kiamat, yang mana cahaya ini memanjang dari bawah kedua telapak kakinya sampai ke langit, dan sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al Hadid yang artinya “Pada hari ketika kamu melihat mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. Al Hadid : 12)

Keutamaan membaca surat Al Kahfi dimalam Jum’at atau di hari Jum’atnya adalah sebagai berikut :

• Keutamaan atau fadilah membaca surat Al Kahfi yang pernah di jelaskan atau diceritakan oleh Nabi Muhammad SAW adalah untuk menangkal fitnah Dajjal. Seperti dalam sabda nabi yang diriwayatkan Muslim dari Abu Darda’ RA yang berbunyi “Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari permulaan surat Al Kahfi, maka ia dilindungi dari Dajjal.” Yakni dilindungi dari huru-haranya Dajjal.

• Keutamaan atau fadilah membaca surat Al Kahfi yang berikutnya adalah diampuni dosa-dosanya diantara dua hari Jum’at. Seperti dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al-Khudri RA Rasulullah bersabda “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, maka ia akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum’at.” (HR. Al-Hakim 2/368 dan Baihaqi 3/249.

• Keutamaan atau fadilah dari membaca surat Al Kahfi yang ketiga adalah akan mendapat cahaya atau akan disinari. Orang yang membaca sura tAl Kahfi pada malam Jum’at atau di hari Jum’atnya akan diberi cahaya pada hari kiamat yang memanjang dari telapak kaki sampai langit.

Waktu dianjurkanya membaca suratAl Kahfi adalah diawali dari terbenamnya matahari pada hari Kamis sore dan sampai terbenamnya matahari di hari Jum’at.

Demikian tadi adalah beberapa kisah yang terkandung dalam surat Al Kahfi dan hikmah atau keutamaan membaca surat Al Kahfi. Yang mana dari 4 kisah tersebut bisa anda ambil hikmah dan pelajaran bahwa hendaknya orang yang memiliki ilmu, kekuasaan, kekuatan dan harta tidak boleh sombong dan menyekutukan Allah.

Oleh karena itu sering-seringlah membaca al-Qur’an terlebih lagi membaca surat Al Kahfi agar terhindar dari fitnah Dajjal, fitnah harta dan fitnah ilmu. Terimakasih dan Semoga bermanfaat.

SHARE THIS POST


RELATED POSTS


Sejarah Berdirinya Ka’bah di Mekkah dan Info Menarik Lainnya


Bacaan Niat Puasa Senin Kamis Lengkap Arab, Latin, Terjemahannya Beserta Manfaat Puasa Senin Kamis


7 Nama Neraka Dalam Islam Lengkap Dengan Penjelasannya


Cara Licik Setan Menggoda Manusia Agar Tersesat Ke Jalan Yang Sesat


Inilah Para Malaikat Penjaga Neraka yang Fisiknya Besar, Kuat dan Kasar Perangainya


12 Gambaran Siksa Neraka Yang Mengerikan Plus Video


Niat Sholat Tahajud, Tata Cara Dan Keutamaannya


Inilah Gambaran Keadaan Neraka Menurut Al Qur'an dan Hadist Nabi


0 RESPONSE TO "KEUTAMAAN MEMBACA SURAT AL KAHFI DAN KISAH PENUH HIKMAH DI DALAMNYA"


POST TERBARU

Daftar Gmail dan Buat Akun Email Gmail Baru, 1 Nomor Hp Banyak Email

Email atau Surat elektronik merupakan ...

Cara Membuat/Mendaftar Akun Facebook Baru Update 2018

Cara Membuat Facebook - Facebook adal...

8+ Contoh Surat Lamaran Kerja yang Baik dan Benar Lengkap [+DOC]

Contoh Surat Lamaran Kerja - Melalui...

NAMA-NAMA PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN INDONESIA DARI AWAL SAMPAI SEKARANG

Sebuah negara yang berdaulat pasti mem...

8 Contoh Surat Izin Tidak Masuk Sekolah yang Baik dan Benar, Beserta Cara Membuatnya

Contoh Surat Izin Tidak Masuk Sekolah ...

PreviousNextHome


About


 

Contact


 

Privacy Policy


 

Disclaimer


Copyright 2018 Kopi-ireng.com