Rabu, 31 Oktober 2018

I S T I N J A



Share 

Cara Sah Beristinja’ Hanya dengan Batu

Bandung, 1 nopember 2018/ 23 safar 1440. H

Beristinja’ artinya menghilangkan najis atau meringankannya dari tempat keluarnya air seni atau kotoran. Terambil dari kata an-najaa’ yang berarti bersih atau selamat dari penyakit. Dinamakan demikian karena orang yang melakukan istinja’ ia mencari keselamatan dari penyakit dan berbuat untuk menghilangkannya (lihat Dr. Musthofa Al-Khin dkk, al-Fiqh al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013), jil. 1, hal. 45).

Beristinja’ dapat dilakukan dengan menggunakan air mutlak atau air yang suci dan mensucikan saja atau dengan menggunakan batu saja. Namun yang paling utama bila istinja’ dilakukan dengan menggunakan batu pada awalnya, kemudian disempurnakan dengan menggunakan air. Ini dikarenakan batu dapat menghilangkan wujud najisnya sedangkan air dapat menghilangkan bekasnya dengan tanpa bercampur dengan najisnya karena telah dihilangkan oleh batu.

Bila orang yang beristinja’ dengan menggunakan salah satunya saja maka beristinja’ hanya dengan menggunakan air lebih utama daripada beristinja’ hanya dengan menggunakan batu, karena air dapat menghilangkan wujud najis sekaligus bekasnya, sedangkan selain air tidak bisa.

Namun bila orang yang beristinja’ hanya akan menggunakan batu saja maka ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi sehingga istinja’nya dianggap sah.

Dalam kitab Safinatun Naja, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menyebutkan 8 (delapan) syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak beristinja’ hanya dengan batu saja tanpa menggunakan air. Dalam kitab tersebut beliau menyatakan:

شروط اجزاء الحجر ثمانية: أن يكون بثلاثة أحجار وأن ينقي المحل وألا يجف النجس ولا ينتقل ولا يطرأ عليه أخر ولا يجاوز صفحته وحشفته ولا يصيبه ماء وأن تكون الأحجار طاهرة

“Syarat beristinja; hanya dengan menggunakan batu ada delapan, yakni (1) dengan menggunakan tiga buah batu (2) batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis (3) najisnya belum kering (4) najisnya belum pindah (5) najisnya tidak terkena barang najis yang lain (6) najisnya tidak melampaui shafhah dan hasyafah (7) najisnya tidak terkena air (8) batunya suci.”(lihat Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safiinatun Najaa, (Beirut: Darul Minhaj: 2009), hal. 17).

Kedelapan syarat itu beserta penjelasannya disampaikan oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Kasyifatus Saja sebagai berikut:

1. Dengan menggunakan tiga buah batu atau tiga buah sisi dari satu batu. 

Meskipun dengan satu batu atau satu sisi batu tempat yang dibersihkan dari najis telah bersih, tetap ada keharusan untuk terus melakukannya sampai batas minimal tiga buah batu atau tiga sisi batu. Sebaliknya bila dengan tiga batu itu tempat yang dibersihkan masih belum bersih dari najis maka wajib hukumnya untuk menambah hingga tempatnya benar-benar bersih. Dalam hal penambahan ini disunahkan dengan bilangan ganjil meskipun telah bersih pada saat dibersihkan dengan bilangan genap.

2. Batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis.

Dengan batasan bahwa najis yang dibersihkan tak lagi tersisa pada temat keluarnya kecuali hanya sekedar bekasnya saja yang tidak bisa dihilangkan selain dengan air atau lainnya.

3. Najisnya belum mengering.

Bila najisnya telah mengering maka tidak bisa beristinja’ hanya dengan batu saja tanpa menggunakan air. Ini dikarenakan batu tidak bisa menghilangkan najis tersebut setelah kering. Maka bila najis telah mengering secara keseluruhan atau sebagiannya harus dibersihkan dengan menggunakan air.

4. Najisnya belum berpindah dari tempat yang ia kenai ketika keluar. Bila ada najis yang berpindah dan masih menyambung dengan tempat tersebut maka wajib menggunakan air untuk menghilangkan najis tersebut secara keseluruhan. Namun bila najis yang berpindah itu tidak menyambung dengan tempat keluarnya maka yang wajib dibersihkan dengan air hanyalah najis yang berpindah saja, sedangkan najis yang masih tetap berada pada tempatnya boleh dibersihkan dengan batu saja.

5. Najisnya tidak terkena barang najis yang lain atau barang suci yang basah selain air keringat. Bila yang mengenainya adalah air keringat atau benda suci yang kering seperti batu kerikil maka tidak mengapa. Namun bila yang mengenainya adalah barang najis baik basah maupun kering atau barang suci yang basah maka istinja’ mesti dilakukan dengan menggunakan air, tidak bisa hanya dengan menggunakan batu saja.

6. Bagi orang yang buang air besar najis yang keluar tidak melampaui bagian samping dubur, yakni bagian bokong yang apabila pada posisi berdiri maka akan menempel satu sama lain. Sedangkan bagi orang yang buar air kecil najis yang keluar tidak melampaui ujung zakar. Bila itu terjadi maka istinja’ yang dilakukan harus dengan air, tidak bisa hanya dengan batu saja.

7. Setelah atau sebelum beristinja’ menggunakan batu najis yang keluar tidak terkena air yang tidak dimaksudkan untuk membersihkan najis tersebut meskipun air tersebut suci atau tidak terkena benda cair lain. Ini dikarenakan air atau benda cair tersebut bisa menjadi najis. Beranjak dari ini maka apabila beristinja’ dengan menggunakan batu yang basah tidak sah istinja’nya, karena dengan basahnya batu tersebut dapat menjadikan batu itu najis dengan najisnya tempat yang dibersihkan, kemudian batu yang telah jadi najis itu dipakai untuk beristinja’ sehingga mengotori tempat yang dibersihkan tersebut. Bila ini yang terjadi maka istinja’ harus dilakukan dengan air, tidak cukup dengan batu saja.

8. Batu yang digunakan beristinja adalah batu yang suci.

Maka tidak cukup bila beristinja’ hanya dengan batu namun batunya mutanajis (batu yang terkena najis).

Lebih lanjut Syaikh Nawawi juga mengemukakan:

واعلم أن كل ما هو مقيس على الحجر الحقيقي وهو ما اذا وجدت القيود الأربعة فيسمى حجرا شرعيا يجوز الاستنجاء به

“Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang dapat diqiyaskan dengan batu secara hakiki—yakni apapun yang padanya terdapat empat batasan—maka dapat digunakan untuk beristinja’. Yang demikian itu disebut batu secara syar’i.”(lihat Muhammad Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2008), hal. 34).

Dari ungkapan tersebut dapat diambil satu pemahaman bahwa selain menggunakan batu ada barang-barang lain yang juga dapat dijadikan alat untuk beristinja’. Barang-barang ini, sebagaimana dijelaskan Syaikh Nawawi, secara syar’i disamakan dengan batu bila memenuhi empat buah syarat sebagai berikut:

1. Barangnya suci.

Tidak bisa beristinja’ dengan menggunakan suatu barang najis atau mutanajis (barang yang terkena najis). Tentunya ini justru akan lebih menambah kenajisan tempat yang akan dibersihkan, bukan malah membersihkannya.

2. Barangnya padat.

Tidak cukup beristinja’ dengan menggunakan sesuatu yang basah baik berupa batu atau lainnya seperti minyak bunga mawar atau air cuka.

3. Barang yang dipakai beristinja’ berupa sesuatu yang dapat menghilangkan dan menyerap najisnya. Maka tidaklah cukup beristinja’ dengan kaca atau bambu yang licin.

4. Bukan sesuatu yang dihormati.

Seperti beristinja’ dengan menggunakan makanan manusia semisal roti dan lainnya atau beristinja’ denganmenggunakan makanannya jin yaitu tulang belulang.

Apa pun yang memenuhi keempat syarat tersebut maka dapat dijadikan pengganti batu untuk beristinja’. Seumpama tisu, daun yang telah kering, batu bata dan lain sebagainya bisa digunakan untuk beristinja’ karena ia memenuhi keempat syarat di atas.

Sebagai penutup Syaikh Nawawi menyatakan:

واذا استنجى بالماء سن تقديم قبله على دبره وعكسه في الحجر

“Bila beristinja’ dengan air disunahkan mendahulukan membersihkan bagian qubul dari pada dubur, sebaliknya bila menggunakan batu disunahkan mendahulukan bagian dubur dari pada qubul”.Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)

Baca Juga

Tiga Tanda Seorang Anak Dikatakan Baligh

Pemikiran Islam: Hukum Allah (4)

Pemikiran Islam: Hukum Allah (3)

Imam Besar Istiqlal: Islam Tak Benarkan Masyarakat Main Hakim Sendiri

Pemikiran Islam: Hukum Allah (2)

Pemikiran Islam: Hukum Allah (1)

Kaifiat (cara) mencuci benda yang kena najis

Kamis, 1 nopember 2018/ 23 safar 1440. H

Untuk melakukan kaifiat mencuci benda yang kena najis, maka harus diketahui dulu tentang pembagian najisnya.

1.  Najis mughallazhah (tebal), yaitu anjing. Kaifiat mencuci benda yang kena najis ini, hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali daripadanya hendaklah airnya dicampur dengan tanah.

Sabda Rasululloh SAW :

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : طَهُوْرُاِنَاءِاَحَدِكُمْ اِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Cara mencuci bejana seseorang dari kamu, apabila dijilati anjing hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (Riwayat Muslim)

2.   Najis mukhaffafah (enteng), seperti kencing anak laki-laki yang belum makan makanan selain susu. Kaifiat mencuci benda yang kena najis ini dengan memercikkan air atas benda itu meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak-anak perempuan yang belum makan selain susu, kaifiat mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir di atas benda itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.

اِنَّ اُمَّ قَيْسٍ جَاءَتْ بِاِبْنٍ لَهَاصَغِيْرٍ لَمْ يَأْ كُلِ اطَّعَامَ فَاَجْلَسَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى حُجْرِهِ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ

“Sesungguhnya Ummu Qais telah datang kepada Rasululloh SAW beserta anaknya laki-laki kecil yang belum makan makanan selain susu. Sesampainya didepan Rasululloh beliau dudukkan anak itu dipangkuan beliau, kemudian dikencinginya, lalu beliau meminta air, lantas beliau percikkan air itu pada kencing kanak-kanak tadi, tetapi beliau tidak membasuh kencing itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Sabda Rasululloh SAW :

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَّةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ

“Kencing anak-anak perempuan dibasuh dan kencing anak-anak laki-laki diperciki.” (Riwayat Turmudzi)

3.  Najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang lain daripada kedua macam yang tersebut

Dinamakan najis hukmiah, yaitu yang kita yakini adanya tetapi tidak nyata zat, bau, rasa dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air diatas benda yang kena itu.Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa, atau baunya, terkecuali warna atau bau yang sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara mencuci najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna dan baunya.

YD1JNI

BENDA YANG TERMASUK NAJIS

belajar fiqih


1. Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia

حرمت عليكم الميتة.

" Di haramkan bagimu ( memakan ) bangkai ( Al- Maidah : 3 )

sebagai catatan, bangkai yang boleh/halal yaitu bangkai binatang laut, seperti bangkai ikan, dan bangkai darat yaitu belalang.
Menurut Imam syaf'i ,bagian bangkai seperti daging, kulit, tulang, urat, bulu, dan lemaknya semua itu termasuk najis.
Menurut Imam Hanafi, bangkai itu yang najis hanya daging dan kulit....

Berdasarkan dari kedua mazhab ini bahwa selain dari daging tidaklah haram..

Fatwa Jama'ah Ahli hadits :

إنما حرم اكلها وفىرواية لحمها

"sesungguhnya yang haram ialah memakannya" pada riwayat lain di tegaskan bahwa yang haram ialah " dagingnya" 
2. Darah

segala macam darah itu najis.

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير

"Di haramkan bagimu ( memakan ) bangkai,darah,dan daging babi". (Al-Maidah : 3)

3. Nanah

Segala macam nanah itu najis, baik yang kental maupun yang cair ,karena nanas itu merupakan darah yang sudah busuk.

4. Segala benda cair yang keluar dari dua pintu

dua pintu tempat buang air kecil dan air besar

sabda Rosulullah Saw :

إنه صلىالله عليه وسلم لما جىء له بحجرين وروثة ليستنجىبها،اخذاالحجرين ردالروثة  وقال هذه ركس .

"sesungguhnya Rosulullah Saw. Di beri 2 biji batu dan sebuah tinja keras untuk di pakai istinja, beliau mengambil dua batu saja, sedangkan tinja, beliau kembalikan dan berkata, " tinja ini najis ". ( HR BUKHARI ).

5. Arak / setiap minuman keras yang memabukkan

firman Allah Swt :

إنماالخمروالميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان.

" sesungguhnya ( meminum ) khamr,berjudi,menyembah berhala, berjudi adalah perbuatan keji, dan termasuk perbuatan syetan. " ( Al-Maidah : 90 ).

6. Anjing dan babi

semua hewan suci, kecuali anjing dan babi

sebagian ulama pun menambahkan binatang yang termasuk najis yaitu binatang yang termasuk binatang menjijikan dan bertaring tajam seperti : cacing, ular, srigala, harimau, dan sebagainya.

7. Bagian badan binatang yang di ambil dari tubuhnya selagi masih hidup

maksudnya ialah bila mengambilnya dari yang binatang najis,itu termasuk najis seperti tubuh babi, 
kalau yang di ambil dari binatang yang suci, itu termasuk suci/halal.

MACAM MACAM DAN PEMBAGIAN AIR

Selamat sore sobat sobat semua kali ini ane akan membahas ilmu fiqih tentang pembagian air,sebelumnya ane ucapkan terima kasih telah mampir ke blog ane,log sharing untuk sama sama belajar.



Dalam ilmu fiqih masalah air pun dibahas dan dibagi menjadi beberapa bagian dan adapun air yang boleh untuk bersuci itu ada tujuh

Air hujanAir sungaiAir sumurAir saljuAir laut Air sumberan Air leideng

Dari ketujuh air itu dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu

Air mutlaqAir makruhAir musta'malAir najis

Pembahasan dan pengertian air mutlaq

Air mutlaq adalah air suci dan bisa mensucikan yakni air yang tidak berqaid seperti air teh ,air kopi,air kelapa dll semua contoh tadisuci ketika untuk diminum tetapi tidak suci ketika untuk berthoharoh seperti erwudlu ataupun menghilangkan hadas besar.

Pembahasan dan pengertian air makruh

Adapun air makruh adalah air yang suci dan bisa mensucikan tetapi makruh untuk menggunakannya contohnya sepertin air panas,air yang sangat sejuk,air yang dipanaskan dikaleng (air musyamas)

Pembahasan dan pengertian air musta'mal

Adapun air musta'mal adalah air yang sedikit sudah dipakai bersuci(wudlu) atau bekas mencuci kotoran najis
pengertian air najis adalah air yang sedikit yakni tidak cukup dua qullah dan bercampur dengan najis  meskipun air tersebut tidak berubah warna,bau dan rasanya ataupun air yang banyak lebih dari dua qullah tetapi beruah  ketika kejatuhan najis seperti warnanya,rasanya,baunya,

Keterangan air dua qullah adalah air yang ukurannya adalah 60 cm panjang x lebar x tinggi atau dalam bahsa kitabnya adlah 305 kati bagdad

demikian ulasan tentang pembagian air semoga bermanfaat

Selasa, 30 Oktober 2018

Bab Bersuci


Empat Macam Air dan Hukumnya untuk Bersuci

Bandung, 31 Oktober 2018.

Di dalam fiqih Islam air menjadi sesuatu yang penting sebagai sarana utama dalam bersuci, baik bersuci dari hadas maupun dari najis. Dengannya seorang Muslim bisa melaksanakan berbagai ibadah secara sah karena telah bersih dari hadas dan najis yang dihasilkan dengan menggunakan air.

Mengingat begitu pentingnya air dalam beribadah fiqih Islam mengatur sedemikian rupa perihal air, dari membaginya dalam berbagai macam kategori hingga menentukan hukum-hukumnya.

Di dalam madzhab Imam Syafi’i para ulama membagi air menjadi 4 (empat) kategori masing-masing beserta hukum penggunaannya dalam bersuci. Keempat kategori itu adalah air suci dan menyucikan, air musyammas, air suci namun tidak menyucikan, dan air mutanajis.

Sebelum membahas lebih jauh perihal pembagian air tersebut akan lebih baik bila diketahui terlebih dahulu perihal ukuran volume air yang biasa disebut di dalam kajian fiqih.

Di dalam kajian fiqih air yang volumenya tidak mencapai dua qullah disebut dengan air sedikit. Sedangkan air yang volumenya mencapai dua qullah atau lebih disebut air banyak.

Lalu apa batasan volume air bisa dianggap mencapai dua qullah atau tidak? Para ulama madzhab Syafi’i menyatakan bahwa air dianggap banyak atau mencapai dua qullahapabila volumenya mencapai kurang lebih 192,857 kg. Bila melihat wadahnya volume air dua qullah adalah bila air memenuhi wadah dengan ukuran lebar, panjang dan dalam masing-masing satu dzira’ atau kurang lebih 60 cm (lihat Dr. Musthofa Al-Khin dkk, Al-Fiqh Al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013), jil. 1, hal. 34).

Air Suci dan Menyucikan

Air suci dan menyucikan artinya dzat air tersebut suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Air ini oleh para ulama fiqih disebut dengan air mutlak. Menurut Ibnu Qasim Al-Ghazi ada 7 (tujuh) macam air yang termasuk dalam kategori ini. Beliau mengatakan:

المياه التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء, وماء البحر, وماء النهر, وماء البئر, وماء العين, وماء الثلج, وماء البرد

“Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air es atau salju, dan air embun.“

Ketujuh macam air itu disebut sebagai air mutlak selama masih pada sifat asli penciptaannya. Bila sifat asli penciptaannya berubah maka ia tak lagi disebut air mutlak dan hukum penggunaannya pun berubah. Hanya saja perubahan air bisa tidak menghilangkan kemutlakannya apabila perubahan itu terjadi karena air tersebut diam pada waktu yang lama, karena tercampur sesuatu yang tidak bisa dihindarkan seperti lempung, debu, dan lumut, atau karena pengaruh tempatnya seperti air yang berada di daerah yang mengandung banyak belerang (lihat Dr. Musthofa Al-Khin dkk, Al-Fiqh Al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013), jil. 1, hal. 34).

Secara ringkas air mutlak adalah air yang turun dari langit atau yang bersumber dari bumi dengan sifat asli penciptaannya.

Air Musyammas

Air musyammas adalah air yang dipanaskan di bawah terik sinar matahari dengan menggunakan wadah yang terbuat dari logam selain emas dan perak, seperti besi atau tembaga.

Air ini hukumnya suci dan menyucikan, hanya saja makruh bila dipakai untuk bersuci. Secara umum air ini juga makruh digunakan bila pada anggota badan manusia atau hewan yang bisa terkena kusta seperti kuda, namun tak mengapa bila dipakai untuk mencuci pakaian atau lainnya. Meski demikian air ini tidak lagi makruh dipakai bersuci apabila telah dingin kembali.

Air Suci Namun Tidak Menyucikan

Air ini dzatnya suci namun tidak bisa dipakai untuk bersuci, baik untuk bersuci dari hadas maupun dari najis.

Ada dua macam air yang suci namun tidak bisa digunakan untuk bersuci, yakni air musta’mal dan air mutaghayar.

Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci baik untuk menghilangkan hadas seperti wudlu dan mandi ataupun untuk menghilangkan najis bila air tersebut tidak berubah dan tidak bertambah volumenya setelah terpisah dari air yang terserap oleh barang yang dibasuh.

Air musta’mal ini tidak bisa digunakan untuk bersuci apabila tidak mencapai dua qullah. Sedangkan bila volume air tersebut mencapai dua qullah maka tidak disebut sebagai air musta’mal dan bisa digunakan untuk bersuci.

Sebagai contoh kasus bila di sebuah masjid terdapat sebuah bak air dengan ukuran 2 x 2 meter persegi umpamanya, dan bak itu penuh dengan air, lalu setiap orang berwudlu dengan langsung memasukkan anggota badannya ke dalam air di bak tersebut, bukan dengan menciduknya, maka air yang masih berada di bak tersebut masih dihukumi suci dan menyucikan. Namun bila volume airnya kurang dari dua qullah, meskipun ukuran bak airnya cukup besar, maka air tersebut menjadi musta’mal dan tidak bisa dipakai untuk bersuci. Hanya saja dzat air tersebut masih dihukumi suci sehingga masih bisa digunakan untuk keperluan lain selain menghilangkan hadas dan najis.

Juga perlu diketahui bahwa air yang menjadi musta’mal adalah air yang dipakai untuk bersuci yang wajib hukumnya. Sebagai contoh air yang dipakai untuk berwudlu bukan dalam rangka menghilangkan hadas kecil, tapi hanya untuk memperbarui wudlu (tajdidul wudlu) tidak menjadi musta’mal. Sebab orang yang memperbarui wudlu sesungguhnya tidak wajib berwudlu ketika hendak shalat karena pada dasarnya ia masih dalam keadaan suci tidak berhadas.

Sebagai contoh pula, air yang dipakai untuk basuhan pertama pada anggota badan saat berwudlu menjadi musta’mal karena basuhan pertama hukumnya wajib. Sedangkan air yang dipakai untuk basuhan kedua dan ketiga tidak menjadi musta’mal karena basuhan kedua dan ketiga hukumnya sunah.

Adapun air mutaghayar adalah air yang mengalami perubahan salah satu sifatnya disebabkan tercampur dengan barang suci yang lain dengan perubahan yang menghilangkan kemutlakan nama air tersebut. Sebagai contoh air mata air yang masih asli ia disebut air mutlak dengan nama air mata air. Ketika air ini dicampur dengan teh sehingga terjadi perubahan pada sifat-sifatnya maka orang akan mengatakan air itu sebagai air teh. Perubahan nama inilah yang menjadikan air mata air kehilangan kemutlakannya.

Contoh lainnya, air hujan yang dimasak tetap pada kemutlakannya sebagai air hujan. Ketika ia dicampur dengan susu sehingga terjadi perubahan pada sifat-sifatnya maka air hujan itu kehilangan kemutlakannya dengan berubah nama menjadi air susu.

Air yang demikian itu tetap suci dzatnya namun tidak bisa dipakai untuk bersuci.

Lalu bagaimana dengan air mineral kemasan?

Air mineral dalam kemasan itu masih tetap pada kemutlakannya karena tidak ada pencampuran barang suci yang menjadikannya mengalami perubahan pada sifat-sifatnya. Adapun penamaannya dengan berbagai macam nama itu hanyalah nama merek dagang yang tidak berpengaruh pada kemutlakan airnya.

Air Mutanajis

Air mutanajis adalah air yang terkena barang najis yang volumenya kurang dari dua qullahatau volumenya mencapai dua qullah atau lebih namun berubah salah satu sifatnya—warna, bau, atau rasa—karena terkena najis tersebut.

Air sedikit apabila terkena najis maka secara otomatis air tersebut menjadi mutanajis meskipun tidak ada sifatnya yang berubah.

Sedangkan air banyak bila terkena najis tidak menjadi mutanajis bila ia tetap pada kemutlakannya, tidak ada sifat yang berubah. Adapun bila karena terkena najis ada satu atau lebih sifatnya yang berubah maka air banyak tersebut menjadi air mutanajis.

Air mutanajis ini tidak bisa digunakan untuk bersuci, karena dzatnya air itu sendiri tidak suci sehingga tidak bisa dipakai untuk menyucikan.Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)

Baca Juga

Empat Hal yang Membatalkan Wudhu

YD1JNI

KITAB THOHAROH

Kitab Thaharah Bab Air (1-4)

    

KITAB THAHARAH BAB AIR (1-4)

Oleh : Ustadz Yachya Yusliha

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، في البَحْرِ: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِيْذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ.

1. Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang (hukum) air laut: “Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidziyy, Nasaa-i, Ibnu Majah, dan Ibnu Abi Syaibah, dan ini merupakan lafazhnya, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan Tirmidziyy dan telah diriwayatkan pula oleh Malik, Syafi’i dan Ahmad).

TAKHRIJUL HADITS
SHAHIH. Telah diriwayatkan oleh: Malik di Muwath-tho’nya (I/45 –Tanwiirul Hawalik syarah Muwath-tho’ oleh Suyuthi), Syafi’iy di kitabnya Al Umm (I/16), Ahmad di Musnadnya (2/232,361), Abu Dawud (no: 83), Tirmidziy (no: 69), Nasaa-i (1/50, 176), Ibnu Majah (no: 43), Ad Darimi (1/186), Ibnul Jarud (no: 43), Ibnu Khuzaimah (no: 777), Ibnu Hibban (no: 119 –Mawarid), Hakim (1/140-141) dan lain-lain, semuanya dari jalan imam Malik dari Sofwan bin Sulaim dari Sa’id bin Salamah (ia berkata:) sesungguhnya Mughirah bin Abi Burdah telah mengabarkan kepadanya, bahwasanya ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata:

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلُ مِنَ الْمَاءِ إِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَـتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ الطُّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ.

“Telah bertanya seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ya Rasulullah, kami akan berlayar di lautan dan kami hanya membawa sedikit air, maka kalau kami berwudlu dengan mempergunakan air tersebut pasti kami akan kehausan, oleh karena itu bolehkah kami berwudlu dengan air laut? Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Laut itu suci airnya, (dan) halal bangkainya.”

Hadits ini telah di-shahih-kan oleh jama’ah ahli hadits, diantaranya:
1. Bukhari, ia berkata: hadits ini shahih.
2. Tirmidziy, ia berkata: hadits ini hasan shahih.
3. Ibnu Khuzaimah.
4. Ibnu Hibban.
5. Hakim.
6. Ibnu Abdil Bar.
7. Ibnul Mundzir.
8. Ibnu Mandah.
9. Al Baghawiy.
10. Ibnul Atsir, ia berkata: ini hadits yang shahih lagi masyhur, telah dikeluarkan oleh para imam di kitab-kitab mereka, dan mereka telah berhujjah dengannya dan rawi-rawinya tsiqaat.
11. Al Albani.

Saya berkata: Hadits di atas pun telah mempunyai beberapa jalan (thuruq) selain dari jalan imam Malik. dan juga telah mempunyai syawaahid dari jama’ah para sahabat, diantaranya: Jabir bin Abdillah, Al Firaasiy, Ibnu Abbas, Abdullah bin ‘Amr, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Semuanya telah saya jelaskan satu persatunya di tempat yang lain yaitu di Takhrij sunan Abi Dawud (no: 83).

FIQIH HADITS
1. Bertanya kepada ahli ilmu jika tidak mengetahui sesuatu masalah agama, mengamalkan perintah Allah di dalam Al Quran:
“Betanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu.”
2. Ilmu terlebih dahulu sebelum beramal.
3. Boleh berlayar mengarungi lautan meskipun bukan untuk berjihad.
4. Membawa bekal ketika shafar menyalahi perbuatan kaum shufi.
5. Kewajiban memelihara dan menjaga diri dari kebinasaan seperti kelaparan dan kehausan.
6. Dari kaedah ushul: “Menolak kerusakan didahulukan dari mengambil manfaat.”
7. Bahwa syari’at Islam itu sangat mudah bagi mereka yang faham dan ikhlas.
8. Bahwa seseorang tidak dibebani kecuali semampunya.
9. Bahwa syari’at Islam selalu memberikan jalan keluar bagi segala kesulitan.
10. Disukainya bagi seorang mufti untuk memberikan jawaban yang lebih dari yang ditanyakan, sebagaimana jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
11. Bahwa air laut itu suci dan mensucikan.
12. Bahwa bangkai binatang laut itu halal.
13. Bolehnya berwudlu dengan air yang telah bercampur dengan sesuatu sehingga berubah rasanya, atau baunya atau warnanya selama tidak kemasukan najis, dan selama penamaannya tetap air, bukan yang telah berubah menjadi air teh atau kopi, dan lain-lain.
14. bahwa Islam mengatur hidup dan kehidupan manusia, dunia mereka dan akhirat mereka.

وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ المَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
أَخْرَجَهُ الثَّلاَثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ.

2. Dari Abu Sa’id Al Khudri Radliallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu suci tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidziyy, Nasaa-i, dan telah dishahihkan oleh Ahmad)

TAKHRIJUL HADITS
SHAHIH. diriwayatkan oleh: Abu Dawud (no: 66), Tirmidziy (no: 66), Nasaa-i (1/174), Ahmad (3/31), Ibnu Abi Syaibah di Mushannaf-nya (1/141-142), Ibnul Jarud (no.47), Daruquthni juz 1 hal 29,30), Baihaqiy (1/4-5 dan 257), Al Bagawiy di kitabnya Syarhus Sunnah (no: 283). Semuanya dari beberapa jalan (thuruq) dari Abu Usamah dari Walid bin Katsir dari Muhammad bin Ka’ab, dari Ubaidillah bin Abdillah bin Raafi’ bin Khudaij dari Abu Sa’id Al Khudriy (ia berkata:)

أَنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَ نَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةِ؟ –وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيْهَا الحَيْضُ وَلَحْمُ الكِلاَبِ وَالنَّتْنُ- فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الماَءُ طَهُوْرٌ لاَيُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.

“Sesungguhnya pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bolehkah kami berwudlu dari sumur Budlo’ah yaitu sumur yang di situ biasa dibuang pembalut darah haidl, daging anjing dan kotoran’, jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Air itu suci tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya.’”

Saya berkata: sanad hadits ini dla’if, karena Ubaidullah bin Abdillah bin Raafi’ bin Khudaij seorang rawi yang mastur atau majhul hal sebagaimana yang diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib-nya (1/536).

Di dalam riwayat Nasaa-i dan Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain , sebagian rawi telah keliru mengatakan: “Ubaidullah bin Abdurrahman!? yang benar ialah ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Raafi’i bin Khudaij .Oleh karena itu Bukhari dengan tegas mengatakan bahwa orang yang menamakannya ‘Ubaidullah bin Abdurrahman telah keliru sebagaimana telah diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di Tahdzibut Tahdzib (7/28). Meskipun demikian kedua orang rawi di atas, yaitu baik ‘Ubaidullah bin Abdullah atau ‘Ubaidullah bin Abdurrahman sama dla’if tidak dikenal atau majhul, akan tetapi hadits di atas meskipun sanadnya dla’if telah terangkat menjadi shahih lighairi karena telah ada beberapa jalan yang lain dan telah ada syawaa-hidnya dari hadits Ibnu Abbas (lihat no: 11), Aisyah -sebagaimana dikatakan Tirmidzi-, Jabir dan Sahl bin Sa’ad, dan hadits ini telah di-shahih-kan oleh para imam, diantaranya: Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ibnu Hazm, Al Baghawi dan lain-lain.

Dalam riwayat lain dengan lafazh:

إِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

وَعَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ البَاهِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: إِنَّ الماءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِه.ِ
أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُوْ حَاتِمٍ.

3. Dari Abu Umamah Al Bahili Radliallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu (suci) tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya, kecuali apabila telah berubah baunya atau rasanya atau warnanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan telah di-dlaif-kan oleh Abu Hatim).

TAKHRIJUL HADITS
Dla’if, Diriwayatkan oleh: Ibnu Majah (no: 521) dan Al Baihaqi (1/259) dari jalan Risydin bin Sa’ad (ia berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mu’awiyah bin Shalih, dari Raasyid bin Sa’ad dari Abi Umamah Al Baahiliy seperti di atas.

Sanad hadits ini dla’if disebabkan dla’if-nya Risydin bin Sa’ad sebagaimana ditegaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di Taqrib-nya.

وَلِلْبَيْهَقِّيُّ: الْمَاءُ طَهُورٌ إِلاَّ إِنْ تَغَيَّرَ رِيْحُهُ، أَوْ طَعْمُهُ، أوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيْهِ.

4. Dan dalam riwayat Baihaqi dengan lafazh: “Air itu suci kecuali bila telah berubah baunya, atau rasanya, atau warnanya dengan sebab kemasukan najis yang tercampur dengan air tersebut.”

TAKHRIJUL HADITS
Dla’if, Diriwayatkan oleh Baihaqiy (1/259-260) dari jalan ‘Athiyah bin Baqiyyah bin Walid (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami bapakku (Baqiyah bin Walid), dari Tsaur bin Yazid, dari Raasyid bin Sa’ad, dari Abi Umamah seperti di atas.

Sanadnya pun dla’if disebabkan oleh Baqiyah bin Walid –bapaknya ‘Athiyah- seorang rawi yang sering melakukan tadlis atas rawi-rawi yang lemah, dan di sanad ini ia telah melakukan tadlis-nya dengan mempergunakan lafazh ‘an’anah.

Lihat kelengkapan takhrij dua hadits dla’if di atas (no: 3, 4) yang sangat luas dan bagus sekali oleh imam Al Albani di Silisilah Dla’ifah-nya (no: 2644).

Hadits Abu umamah di atas telah di-dla’if-kan oleh para imam ahli hadits seperti Syafi’iy sebagaimana diterangkan Baihaqiy di kitab Sunan-nya (1/260) dan lain-lain. Bahkan imam Nawawi menegaskan “telah sepakat ahli hadits melemahkannya.” Yang dimaksud ialah lemahnya riwayat pengecualian di atas (yaitu karena baunya…dst sedangkan bagian pertama dari hadits telah sah dari hadits Abu Sa’id Al Khudriy no: 2)

Adapun tentang hukumnya para ulama telah ijma’ menetapkan bahwa air itu suci dan mensucikan kecuali karena berubah baunya atau rasanya atau warnanya, disebabkan kemasukan najis. Berkata imam Ibnul Mundzir: “Telah ijma’ para ulama sesungguhnya air itu sedikit atau banyak apabila kemasukan najis lalu dengan sebab najis tersebut berubah rasa atau warna atau baunya maka air itu menjadi najis. Maka ijma’lah yang menjadi dalil karena najis yang telah berubah salah satu sifatnya, bukan karena tambahan (di atas yang lemah riwayatnya).” (Lihat Subulus Salam 1/19)

Saya berkata: Dari takhrij di atas kita mengetahui bahwa menjadikan hadits Abu Umamah hanya mempunyai satu sanad dan satu ‘illat (penyakit) yaitu disebabkan dla’if-nya Risydin bin Sa’ad seperti zhahir-nya keterangan imam Ash Shan’aniy di kitabnya Subulus Salam syarah Bulugul Maram (1/18) karena ia tidak memberi komentar pada riwayat yang kedua yang dikeluarkan oleh Baihaqiy (no: 4) adalah kurang tepat, yang dapat difahami bahwa hadits tersebut hanya mempunyai satu sanad dan satu penyakit saja seperti keterangan di atas. Padahal yang benar, hadits no: 3 yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqiy kelemahannya disebabkan Risydin bin Sa’ad. Sedangkan riwayat kedua (no: 4) yang dikeluarkan oleh Baihaqi tidak terdapat di sanadnya Risydin bin Sa’ad, akan tetapi kelemahannya disebabkan karena Baqiyyah bin Walid sebagai penguat bagi riwayat Risydin bin Sa’ad.

Jika dikatakan: apakah penguat ini tidak bisa menaikkan derajat hadits Abi Umamah menjadi hasan lighairihi.?

Saya jawab: tidak bisa! Karena beberapa sebab:
Pertama: para ahli hadits telah ijma’ melemahkannya sebagaimana telah dijelaskan Nawawi dan Ibnul Mundzir.
Kedua: Yang benar pengecualian dari tambahan di atas dari perkataan Raasyid bin Sa’ad, karena hadits di atas hanya beredar dari jalannya.
Ketiga: Karena Risydin bin Sa’ad sangat lemah dari jurusan hapalannya dan telah dilemahkan oleh hampir seluruh para imam ahli hadits sebagaimana telah diterangkan oleh Al Hafizh di Tahdzibut Tahdzib (3/277-279).
Keempat: Kerena tidak ada satu pun penguat yang dapat menguatkannya.

FIQIH HADITS
Hadits Abu Sa’id Al khudriy (no: 2) bersama ijma’ ulama di atas mengandung beberapa hukum, dalam masalah air diantaranya:
1. Bahwa air itu sedikit atau banyak tetap suci dan mensucikan kecuali kalau berubah salah satu sifatnya seperti baunya atau rasanya atau warnanya dengan sebab kemasukan najis. Inilah yang menjadi mazhabnya para shahabat seperti Umar bin Khath-thab, Aisyah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan lain-lain. Demikan juga tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab, Mujahid, Ikrimah, Hasan Bashri dan lain-lain. Dan yang menjadi mazhabnya imam Malik dan imam Ahmad -dalam salah satu pendapatnya- dan Azh Zhahiriyah dan lain-lain. Mereka semuanya mengamalkan ketegasan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa’id Al Khudriy (no:2) (Subulus Salam 1/17-18).

2. Bahwa ait itu sedikit atau banyak apabila kemasukan najis dan tidak berubah salah satu sifatnya seperti: baunya atau rasanya atau warnanya, maka air itu tetap suci menurut mazhab yang lebih kuat dan benar dari perselisihan para ulama sebagaimana telah dijelaskan dengan luas berdasarkan dalil-dalil naql dan akal oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan beliau sendiri menguatkannya dan berpegang dengan mazhab ini. Dan inilah yang menjadi mazhabnya Malik dan Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- dan lain-lain. (Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyyah 21/30-35)

3. Bahwa air itu sedikit atau banyak apabila berubah salah satu sifatnya seperti: baunya atau rasanya atau warnanya dengan sebab kemasukan atau bercampur dengan suatu zat yang tidak najis seperti sabun atau daun bidara atau kamper atau tepung atau garam dan lain-lain selama tidak berubah nama bagi zat air tersebut –seperti berubah namanya menjadi air teh, air kopi atau susu- maka air tersebut tetap suci dan mensucikan berdasarkan beberapa dalil:

a). Hadits Abu Hurairah (no:1) bahwa air laut itu suci, sedangkan air laut itu telah berubah rasanya, baunya dan warnanya karena bercampur dengan garam yang begitu banyak sehingga berubah rasanya menjadi asin, akan tetapi tidak sampai merubah nama bagi zat air tersebut.

b). Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan memandikan orang yang mati dalam keadaan ihram dengan air dan daun bidara sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari (no: 1267,1268) dan Muslim (no:1206).

c). Dan beliau juga telah memerintahkan memandikan anak perempuannya yang mati dengan air dan daun bidara sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari (no: 1253).
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Sudah maklum, bahwa daun bidara itu dapat merubah air, maka kalau sekiranya perubahan dapat merusak air tersebut niscaya beliau tidak akan memerintahkannya.”

d). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudlu dari bak yang di dalamnya terdapat bekas tepung sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasaa-i (no: 415), Ibnu Majah (no: 378) dan Ahmad (6/342).

e). Keumuman firman Allah: “…Maka jika kamu tidak mendapatkan air…” (Al Maidah ayat: 6). Lafazh air bersifat umum dalam bentuk nakirah. (Majmu’ Fataawa Ibnu Taimiyyah 21/24-29).

YD1JNI

Sumur Warga di Mojokerto Dipastikan Tercemar Premium-Pertamax


Mojokerto - Air sumur warga Dusun Panjer, Desa Tunggalpager, Pungging, Mojokerto dipastikan tercemar bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertamax. Kini polisi menelusuri sumber kedua jenis BBM tersebut.

Kasat Reskrim Polres Mojokerto AKP Muhammad Solikhin Fery mengatakan jenis minyak yang mencemari sumur warga Dusun Panjer diidentifikasi setelah keluarnya hasil uji laboratorium terhadap sampel minyak dari sumur milik Khoirudin (35). Uji laboratorium itu dilakukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jatim.

"Hasil uji lab ESDM Jatim menyatakan kandungannya ada Premium dan atau Pertamax," kata Fery saat dihubungi wartawan, Selasa (30/10/2018)

Dengan begitu, lanjut Fery, tercemarnya sumur warga Dusun Panjer dipastikan bukan akibat adanya sumber minyak bumi di kampung tersebut. Menurut dia, kini sumber pencemaran mengarah pada kebocoran tangki pendam di SPBU Sawahan atau ada orang yang sengaja menyiramkan minyak ke sumur Khoirudin.

Baca juga: Sumur Warga Tercemar BBM, ESDM Jatim Pastikan Tak Ada Sumber Minyak

Untuk memastikannya, polisi bakal melalukan sejumlah upaya penyelidikan. Salah satunya dengan mengecek kandungan minyak langsung dari mata air di dalam sumur milik Khoirudin. Pengecekan tersebut akan dilakukan bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Mojokerto.

"Kami akan menguras habis air sumur itu untuk mengecek apakah masih keluar minyak atau tidak dari sumber air di dalam sumur. Namun, kami masih menunggu mesin pompa cemplung dari DLH," terangnya.

Jika dari mata air di dalam sumur masih mengeluarkan minyak, maka indikasi adanya orang yang sengaja menyiramkan BBM ke dalam sumur bakal terbantahkan.

"Tentunya sampel air yang nantinya kami ambil dari mata air di dalam sumur akan diuji lab dulu untuk memastikan masih mengandung minyak atau tidak," ungkapnya.

Baca juga: Pastikan Pencemar Sumur Warga, Dinas LH Tunggu Hasil Uji Lab

Sementara menurut keterangan pihak Pertamina, tambah Fery, kecil kemungkinan terdapat kebocoran pipa maupun tangki pendam milik SPBU Sawahan. SPBU ini jaraknya kurang dari 100 meter dari sumur milik Khoirudin yang tercemar BBM paling parah.

"Saat rakor Jumat pekan lalu, menurut Pertamina area itu klir. Karena kalau ada tangki bocor, tekanannya tinggi, pasti akan merembes ke atas permukaan tanah. Misalnya pipanya bocor di bawah, sebelum merembes ke mana-mana akan merembes ke atas dulu, ini tidak ada rembesan," tandasnya.

Tercemarnya air sumur di belakang rumah Khoirudin (35), warga Dusun Panjer ini terjadi sejak sebulan lebih. Namun, penjual nasi pecel itu baru menyadarinya sekitar 11 Oktober 2018.

Saat itu, dia terpaksa menimba secara manual air di sumurnya. Ternyata air sumur itu berwarna hijau dan beraroma seperti Pertalite. Bahkan air yang terkontaminasi BBM itu bisa terbakar jika disulut dengan api.

Sejak saat itu, Khoirudin tak berani menggunakan air sumur untuk mandi, mencuci, minum maupaun memasak. Untuk mandi dan mencuci, dia beralih ke air PDAM. Sementara untuk minum dan memasak, dia membeli air minum kemasan.

Baca juga: Misteri Air 'Pertalite' di Sumur Warga yang Bisa Nyalakan Motor

Kondisi serupa juga terjadi di sumur warga Dusun Panjer lainnya. Hanya saja air sumur warga lainnya tak sampai terbakar jika disulut dengan api. Diduga kandungan minyak di air sumur warga tak sebanyak di sumur Khoirudin.

Sumber pencemaran itu diduga kuat akibat rembesan tangki pendam SPBU Sawahan. Jarak pompa bensin ini tak sampai 100 meter dari sumur Khoirudin.

Selain itu, kasus serupa pernah terjadi setahun yang lalu. Air tanah di rumah warga yang berjarak sekitar 50 meter dari SPBU Sawahan, mendadak berbau BBM.
YD1JNI

Senin, 29 Oktober 2018

HUJAN MEMBAWA ROHMAT



10 Amalan Menyambut Berkah Hujan [1]

Oleh: Ustadz Yachya Yusliha

HUJAN yang turun hari-hari belakangan ini kita rasakan nikmatnya dari Allah Ta’ala, dan menjadi pembicaraan banyak orang, mengandung banyak manfaat untuk makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang bermukim di bumi ini.

Hujan sebagai Air Terbaik

Pertama, Al Quran menarik perhatian kita dengan pernyataan air hujan adalah tawar.

Allah Ta’ala berfirman :

أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاء الَّذِي تَشْرَبُونَ

أَأَنتُمْ أَنزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنزِلُونَ

“Wahai manusia apa pendapat kalian tentang air yang kalian minum? Apakah kalian yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkannya? Sekiranya Kami jadikan air hujan tersa asin lagi pahit, adakah kalian mampu mengubahnya menjadi air tawar? Mengapa kalian tidak mau mensyukuri nikmat Allah?.” (QS: Surat Al Waqi’ah (56): 68-70).

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لَّكُم مِّنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ

“Dialah Tuhan yang menurunkan hujan dari langit bagi kalian. Diantara air hujan itu ada yang menjadi minuman, ada yang menumbuhkan pepohonan, dan ada pula yang menumbuhkan rerumputan yang menjadi makanan bagi ternak kalian.”(QS: Surat An-Nahl (16): 10)…

وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُوراً

“Dia lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” ( QS: Surat al-Furqan (25) : 48)

Seperti telah kita ketahui, air hujan berasal dari penguapan air dan 97% merupakan penguapan air laut yang asin. Namun, air hujan adalah tawar. Air hujan bersifat tawar karena adanya hukum fisika yang telah ditetapkan Allah. Berdasarkan hukum ini, dari mana pun asalnya penguapan air ini, baik dari laut yang asin, dari danau yang mengandung mineral, atau dari dalam lumpur, air yang menguap tidak pernah mengandung bahan lain. Air hujan akan jatuh ke tanah dalam keadaan murni dan bersih, sesuai dengan ketentuan Allah “

Air Hujan adalah Rahmat

قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ

“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy Syuura : 28).

Allah Ta’ala menurunkan hujan, lewat hujan itulah Allah memberi kehidupan bagi tanah yang mati. Di dalam Al Quran banyak ayat yang menyeru kepada kita agar memperhatikan bahwa hujan berguna untuk menghidupkan negeri (tanah) yang mati.

Air Hujan Menyuburkan Tanaman

Selain tanah diberi air, yang merupakan kebutuhan mutlak bagi makhluk hidup, hujan juga berfungsi sebagai penyubur. Tetesan hujan, yang mencapai awan setelah sebelumnya menguap dari laut, mengandung zat-zat tertentu yang bisa memberi kesuburan pada tanah yang mati. Tetesan yang “memberi kehidupan”.

Tetesan berisi “pupuk” ini naik ke langit dengan bantuan angin dan setelah beberapa waktu akan jatuh ke bumi sebagai tetesan hujan. Dari air hujan inilah, benih dan tumbuhan di bumi memperoleh berbagai garam logam dan unsur-unsur lain yang penting bagi pertumbuhan mereka.

وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُوراً

لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَّيْتاً وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَاماً وَأَنَاسِيَّ كَثِيراً

“…Kami turunkan air hujan yang bersih dari langit. Dengan air hujan itu Kami suburkan tanah-tanah yang tadinya tandus. Dengan air hujan itu kami beri minum makhluk-makhluk Kami hewan  ternak dan segenap manusia.” (QS: Surat al-Furqan (25) : 48-49)..

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُّبَارَكاً فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ

Kami turunkan air hujan yang berbarakah, banyak manfaatnya dari langit kemudian dengan air hujan itu Kami tumbuhkan kebun-kebun dan biji-bijian yang dapat dipanen.” (QS. Qaf (50): 9)..

Singkatnya, hujan adalah penyubur yang sangat penting. Dengan cara seperti ini, 150 juta ton pupuk jatuh ke permukaan bumi setiap tahunnya. Andaikan tidak ada pupuk alami seperti ini, di bumi ini hanya akan terdapat sedikit tumbuhan, dan keseimbangan ekologi akan terganggu.

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ مَهْداً وَسَلَكَ لَكُمْ فِيهَا سُبُلاً وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ أَزْوَاجاً مِّن نَّبَاتٍ شَتَّى

Tuhan yang telah menciptakan bumi dengan permukaan datar bagi kalian, dan menjadikan kalian dapat berjalan di atas bumi itu dengan bermacam-macam jalan. Tuhan menurunkan hujan dari langit. Kamipun mennumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang berpasang-pasangan.” (QS. Thaha (20) : 53).

Hujan Sebagai Keberkahan 

Hujan adalah air yang diturunkan dari langit dan penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman :

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُّبَارَكاً فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ

Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qaaf (50) : 9).

Di antara keberkahan dan manfaat hujan adalah manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan sangat memerlukannya untuk keberlangsungan hidup, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقاً فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al Anbiya’ (21) : 30).

Al Baghowi menafsirkan ayat ini, “Kami menghidupkan segala sesuatu menjadi hidup dengan air yang turun dari langit yaitu menghidupkan hewan, tanaman dan pepohonan. Air hujan inilah sebab hidupnya segala sesuatu.”

Jika air hujan disebut Al-Quran sebagai rahmat dan keberkahan, mengapa fakta menunjukkan air hujan menjadi musibah banjir di mana-mana?

Jawabannya sebagaimana yang telah difirmankan dalam surah al-Ruum, ayat 41;

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).* (bersambung)

 

YD1JNI

Ledakan Terdengar Saat Pesawat Lion Air Jatuh di Perairan Karawang

EDUKASIKOLOMIMAGESJEO 

KOMPASIANABOLASPORTGRIDOTOKOMPASKARIERGRAMEDIAGRID.IDKONTAN    

MENU

BAGIKAN:    

News Regional

Ledakan Terdengar Saat Pesawat Lion Air Jatuh di Perairan Karawang

Senin, 29 Oktober 2018 | 15:06 WIB

KARAWANG, KOMPAS.com — Nelayan Muara Bungin mendengar ledakan saat pesawat Lion Air JT 610 jatuh di perbatasan perairan Karawang dan Bekasi, Jawa Barat, Senin (29/10/2018).

"Saya mendapat kabar, nelayan di Muara Bungin mendengar ledakan di air sekitar pukul 06.30 WIB," ujar Camat Pakisjaya Irlandia Suarlan di Pantai Tanjung Pakis, Desa Tanjung Pakis, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Senin.

Baca juga: BERITA FOTO: Temuan Tim di Lokasi Jatuhnya Lion Air, dari Kartu SIM, Ponsel, hingga Jenazah

Ledakan tersebut, lanjut dia, terdengar di perairan perbatasan Karawang dan Bekasi. Saat ini, beberapa nelayan dan pihak desa turut melakukan penyisiran di sepanjang Pantai Tanjung Pakis hingga Muara Bungin.

"Ada dua kapal nelayan yang berangkat," katanya.

Nelayan Karawang diperbantukan menyisir perairan di sekitar lokasi jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkal Pinang, Senin (29/10/2018).

Baca juga: SAR Terima Laporan Banyak Pejabat di Lion Air yang Jatuh, dari Anggota DPRD hingga BPK

Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana meminta nelayan di Tanjungpakis untuk membantu menyisir perairan di lokasi perkiraan jatuhnya pesawat Lion Air.

"Mereka membantu tim SAR melakukan penyisiran," ujar Cellica.

Pencarian itu, lanjut dia, dilakukan hingga ke Muara Bungin di Cabangbungin, Kabupaten Bekasi.

"Kepala desa dan beberapa warga sedang memonitor hingga ke sana," katanya.

Baca juga: Satu Jenazah Ditemukan di Lokasi Jatuhnya Pesawat Lion Air

Selain itu, Pemkab Karawang juga menyiagakan sekitar 20 ambulans di sejumlah titik. Di Pantai Tanjungpakis, delapan ambulan berderet dalam keadaan siaga. Sejumlah truk polisi dan TNI juga disiapkandi lokasi.

"Saya sebar ambulans di beberapa titik karena dikhawatirkan korban terpencar," kata Cellica.

Video Pilihan

05:43

Tim Tempuh Perjalanan 11 Mil Menuju Lokasi Jatuhnya Lion Air

03:02

Kapolres Tinjau Lokasi Diduga Jatuhnya Lion Air Di Karawang

15:44

Sejumlah Jenazah Korban Lion Air JT-610 Ditemukan

00:56

Pencarian Lion Air, Lanud Atang Sanjaya Kirim 3 Helikopter

02:27

Lion Air Jatuh, Basarnas Temukan Puing, Pelampung, Dan HP

02:27

Lion Air Jatuh, Basarnas Temukan Puing, Pelampung, Dan HP

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Pesawat Lion Air Jakarta-Pangkal Pinang Jatuh ke Laut

Penulis: Kontributor Karawang, Farida Farhan

Editor: Caroline Damanik

TAG:

nelayan

Lion Air

perairan Karawang

TERKINI

Fakta Baru Kasus Bunuh Diri Keluarga FX Ong, Polisi Temukaan Dugaan Utang Rp 8,9 Miliar

REGIONAL - 5 menit lalu

Tiga Jam Sebelum Terbang, Pramugari Lion Air Alfiani Unggah Insta Story

REGIONAL - 16 menit lalu

Keluarga Korban Lion Air Berharap Mukjizat: Putri Terus Menunggu Suami dan Anaknya

REGIONAL - 29 menit lalu

Keluarga Korban Lion Air: Kami Berharap Ada Mujizat, Istrinya Lagi Hamil 7 Bulan...

REGIONAL - 35 menit lalu

Lion Air Jatuh, Warga Mulai Berdatangan di Rumah Pramugari Alfiani

REGIONAL - 1 jam lalu

Lanud Atang Senjaya Bogor Kirim Helikopter Bantu Pencarian Penumpang Lion Air

REGIONAL - 1 jam lalu

Alfiani, Pramugari Lion Air yang Jatuh di Perairan Karawang, Warga Madiun

REGIONAL - 1 jam lalu

Dua Orang Tewas akibat Minibus Terjun ke Jurang Sedalam 30 Meter

REGIONAL - 1 jam lalu

Ledakan Terdengar Saat Pesawat Lion Air Jatuh di Perairan Karawang

REGIONAL - 2 jam lalu

Pramugari Alfiani Baru Dua Bulan Bekerja di Lion Air

REGIONAL - 2 jam lalu

Pramugari Alfiani Hubungi Keluarga Sebelum Terbang dengan Lion Air JT-610

REGIONAL - 2 jam lalu

Suaminya Jadi Korban Kecelakaan Lion Air, Sang Istri Syok

REGIONAL - 2 jam lalu

Empat Orang Pegawai Kejati Babel jadi Korban Lion Air JT-610

REGIONAL - 2 jam lalu

Basarnas Terjunkan Robot Penyelam di Lokasi Jatuhnya Pesawat Lion Air

REGIONAL - 3 jam lalu

Gubernur Bangka Belitung Turun Tangan Koordinasi Tim Posko Korban Pesawat Jatuh

REGIONAL - 3 jam lalu

Load More

BACK TO TOP

News Ekonomi Bola Tekno EntertainmentOtomotif Sains Lifestyle Properti TravelEdukasi Foto Video TV VIK

Penghargaan dan sertifikat:

 

About Policy Contact Us Career Pedoman Media Siber    

©2018 PT. Kompas Cyber Media