Sabtu, 19 Agustus 2017

hubungan anak dengan orang tua

Kedudukan Anak Serta Hubungan Anak Dengan Orang Tua Menurut Hukum Indonesia

1. Menurut Hukum Perdata
Adanya hubungan hukum antara seorang anak dengan orang lain menimbulkan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak. Keadaan yang demikian juga berlaku pada hubungan yang bersifat kekeluargaan.

Seorang anak berhak mendapatkan nafkah dari orang tuanya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.

Sebaliknya apabila anak tersebut telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuan orang tua dan keluarganya dalam garis lurus ke atas bila mereka membutuhkannya.

Maka,hak dan kewajiban ini selalu ada pada orang-orang yang antara mereka satu sama lain mempunyai hubungan hukum.

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau sebelum 180 hari dari perkawinan orang tuanya disebut anak luar kawin (tidak sah) begitu juga dengan anak yang dilahirkan 300 hari setelah perkawinan bubar adalah tidak sah ( Pasal 255 KUH Perdata).

Agar anak luar kawin tersebut mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan ayahnya, maka menurut ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, ayah ibunya harus melakukan tindakan pengakuan.

Apabila ayah ibunya tidak melakukan tindakan pengakuan maka dapat menyebabkan anak tersebut tidak ber-ayah dan tidak ber-ibu.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.

Tetapi tidak menyebutkan tentang boleh menyelidiki siapa bapak si anak.

Dan nampaknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak luar kawin, seperti KUH Perdata yang tegas menyatakan hal tersebut.

Memperhatikan ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, dapat diketahui bahwa anak luar kawin demi hukum mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya tanpa diperlukan suatu perbuatan hukum untuk itu. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, di mana untuk memperoleh status agar memiliki hubungan hukum antara ayah dan ibu dengan anak luar kawin haruslah anak itu diakui oleh ayah dan ibunya.

Ini berarti status diperoleh si anak tidak dengan sendirinya karena kelahiran, tetapi karena adanya pengakuan dari ayah dan ibunya.

Dengan adanya hubungan hukum itu barulah timbul kewajiban timbal balik antara anak luar kawin dengan orang tuanya.

Hubungan ini meliputi dalam hal memberi nafkah, perwalian, izin kawin, hak mewaris dan lain-lain.

Apabila pengakuan tidak dilakukan, dengan cara sukarela atau dengan cara paksaan, maka hubungan hukum itu tidak pernah ada dengan segala akibat yang merugikan bagi si anak terutama selagi dia msih di bawah umur, tanpa adanya jaminan orang tuanya. Nasib anak itu selanjutnya terserah kepada belas kasihan perorangan dalam masyarakat atau diselamatkan oleh campur tangan pemerintah.

Tetapi pada perkembangannya, pada tahun 2011 Mahkamah Konstitusi melakukan yudisial review terkait dengan status anak luar kawin Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini berubah menjadi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Hal ini dimaksudkan agar sang anak mendapat kejelasan mengenai siapa ayahnya, sehingga dia berhak untuk menjadi ahli waris dari sang ayah, dan juga ayah dari anak tersebut dapat bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar